Memastikan Ruang Partisipasi Tidak Dihabisi Kepentingan Korporasi

IMG_5410 (copy)

Sejak hampir satu dekade lalu, pakar perkotaan sudah memberikan pandangan skeptis terhadap proyek rumah susun. Memindahkan warga dari permukiman asal di dalam kota, ke permukiman rumah susun di pinggir kota, dinilai sebagai kebijakan yang janggal. Terlebih, banyak cerita kegagalan yang menghantui megaproyek rumah susun, terutama di Jakarta. Rumah susun yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga tahun 2006, hanya didiami oleh 20 % dari jumlah keseluruhan kelompok sasaran. Hal yang sama masih dijumpai hingga tahun 2015 ini, ketika pemerintah provinsi masih tetap harus menghadapi proyek mangkrak dan penghuni ilegal. Sementara, data berbicara bahwa membangun rumah susun menelan biaya 100 kali lebih mahal daripada memperbaiki kampung. Pembangunan rumah susun 4 lantai yang mahal itu pun ternyata hanya mampu menampung kepadatan penduduk sejumlah 140 jiwa per hektar. Angka kepadatan penduduk itu lebih rendah daripada kepadatan penduduk di perkampungan. Jelas bukan efisiensi lahan dan biaya.

Mengapa Hunian Vertikal?

Beberapa negara berpandangan bahwa perkembangan spasial horisontal sentrifugal yang tidak terkendali akan berakibat negatif terhadap pemakaian energi dan materi. Luasnya wilayah kota merupakan salah satu bentuk pemborosan energi dan materi. Perluasan spasial vertikal, antara lain dengan hunian vertikal seperti rumah susun, dianggap sebagai salah satu cara antisipasi perkembangan kota-kota modern masa depan. Cara itu dipandang bisa menghindarkan diri dari pemborosan energi, materi, dan sumber daya, termasuk sumber daya pertanian di daerah pinggiran kota. Kebanyakan lahan pertanian di Indonesia yang punya produktivitas tinggi berada di sekitar daerah vulkanik. Menurut Hadi Sabari Yunus, pada lahan-lahan subur inilah terletak sistem jaringan kekotaan (urban network) yang paling padat. Akibatnya adalah pada daerah tersebut terjadi konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian yang paling intensif. Jumlah penduduk yang besar juga menyebabkan kebutuhan lahan untuk permukiman dan kegiatan lain, baik di perkotaan maupun di perdesaan juga sangat besar.

Kini, gagasan membangun rumah susun itu dibawa ke Yogyakarta. Beberapa praktisi mulai angkat bicara tentang manfaat hunian vertikal. Sutaryono, dosen pada Sekolah Tinggi Pertanahan nasional (STPN) Yogyakarta dan Prodi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM), berani mengklaim bahwa sebagian besar publik sepakat dengan potensi hunian vertikal. Program rumah susun juga diamini oleh sebagian akademisi yang menuntut ilmu di berbagai kampus di Yogyakarta, sebagai proyek berdampak positif bagi lingkungan. Rumah susun juga dipandang tepat untuk dibangun di sepanjang bantaran sungai-sungai yang membelah kota Yogyakarta. Permukiman padat yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu dipandang sebagai kekumuhan yang harus dibongkar dan direlokasi penghuninya ke rumah susun yang dibangun dengan jarak tertentu dari sempadan sungai. Rumah susun diklaim bisa menjadi solusi permukiman bantaran sungai, sekaligus solusi bagi permukiman kota. Hal ini dipandang akan mampu memperkuat citra kota Yogyakarta sebagai tujuan wisata dengan tata permukiman yang lebih terencana dan modern.

Namun, pakar tata kota Darrundono sejak satu dekade silam sudah mengingatkan publik bahwa berdiam di rumah susun dengan banyak orang lain itu tidak sama dengan tinggal di rumah sendiri yang tingkat. Ia mengatakan hal itu setelah merasa terlalu risih dengan banyaknya dorongan dari kelompok teknokrat kepada masyarakat kelas menengah ke bawah untuk beralih ke rumah susun. Kebanyakan orang Indonesia golongan berpendapatan rendah, yang merupakan kelompok sasaran utama rumah susun, belum terbiasa tinggal di hunian vertikal. Ada aspek budaya yang perlu waktu panjang untuk diubah, sehingga sisi sosial ini harus menjadi perhatian, tidak melulu sisi fisik semata. Hadi Sabari Yunus, yang juga dosen Fakultas Geografi UGM, dalam buku Manajemen Kota; Perspektif Spasial menyatakan bahwa kesalahan memahami aspirasi tempat tinggal yang dibutuhkan warga menjadikan banyak proyek rumah susun menjadi salah sasaran.

Pemenuhan Kebutuhan Perumahan Rakyat

Kini, rumah tidak lagi dipandang sebagai fasilitas yang harus diselenggarakan sebagai tanggung jawab bersama (public domain) dari berbagai komunitas masyarakat, tetapi telah berubah menjadi barang komoditas. Ketika urusan perumahan diserahkan kepada mekanisme pasar, akibatnya banyak kelompok masyarakat yang tak mampu mengakses perumahan yang harganya terlalu dan semakin mahal. Beban sosial pun meningkat, utamanya di perkotaan, yang semakin merusak struktur kehidupan kota dengan semakin menjamurnya permukiman kumuh (slums) yang padat dan rawan bencana sosial. Pakar perkotaan Yayat Supriatna menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban membangun program perumahan rakyat dengan berani menjinakkan pasar. Dunia perumahan harus lebih manusiawi kepada warga kurang mampu, sehingga tidak harus dilempar begitu saja ke mekanisme pasar. Perumahan bagi warga kelas menengah ke bawah harus jadi bagian dari investasi sosial negara.

Bagaimana Yogyakarta menjawab tantangan itu? Kota Yogyakarta tampak benar-benar yakin bahwa rumah susun adalah solusi atas permasalahan kebutuhan permukiman rakyat. Awal tahun 2015 ini, ada tiga peraturan walikota (Perwal) yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang terkait langsung dengan hunian vertikal berupa rumah susun. Paket peraturan itu antara lain Perwal Yogyakarta No. 7 Tahun 2015 tentang Sertifikat Laik Fungsi (SLF) Rumah Susun, Perwal Yogyakarta No. 8 Tahun 2015 tentang Pengesahan Akta Pemisahan Rumah Susun, dan Perwal Yogyakarta No. 9 Tahun 2015 tentang Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun. Pada saat ini masih berlangsung proses penyiapan dua perwal tentang sarana prasarana dan mekanisme SLF rumah susun. Hal ini dipandang akan menjadi solusi untuk menjawab kebutuhan ruang hunian, ketika pertumbuhan penduduk semakin meningkat dan alih guna lahan untuk hunian juga grafiknya menanjak. Terlebih ketika wilayah kabupaten di sekitar Kota Yogyakarta juga sudah memperketat izin pembangunan perumahan, khususnya perumahan modern. Pemerintah Kabupaten Bantul mulai bulan Juni 2015 hingga Desember 2016 memberlakukan moratorium penerbitan izin pembangunan kompleks perumahan di wilayah yang berbatasan langsung dengan kota, yakni di wilayah Banguntapan, Sewon, dan Kasihan. Sementara, Pemerintah Kabupaten Sleman juga sedang terus didesak oleh DPRD Sleman juga melakukan hal yang sama, agar alih guna lahan dapat terkontrol. Data Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di kabupaten ini memang mengalami penurunan, dari 22.560 Ha di tahun 2013 menjadi 22.300 Ha di tahun 2014. Pertumbuhan pembangunan di lahan pertanian, menurut Pemerintah Kabupaten Sleman, tidak mungkin dihindari.

Pemerintah Kota Yogyakarta didukung sejumlah akademisi pun semakin gencar menggotong konsep rumah susun sebagai solusi. Dengan luas wilayah administratif yang relatif sempit, hanya 3.250 Ha, kota ini menggunakan sebagian besar luas lahannya untuk perumahan, yakni 2.105,391 Ha (tahun 2010). Angka kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta pun jelas tertinggi di antara empat wilayah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni mencapai 12.241 jiwa/km persegi (tahun 2013). Namun, data-data itu harus dibandingkan dengan beberapa data atas fakta yang lain, sehingga tidak bisa begitu saja digunakan untuk menjustifikasi adanya kebutuhan rumah susun di Kota Yogyakarta. Pada tahun 2013, penduduk DIY sebagian besar tetap tinggal di wilayah kabupaten, dan hanya sebagian kecil saja yang tinggal di Yogyakarta. Total penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2013 mencapai 397.828 jiwa, dari total 3.847.325 jiwa total penduduk DIY. Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data hasil sensus dalam dua dasawarsa terakhir justru menunjukkan penurunan. Pada periode tahun 1990 – 2000 lajur pertumbuhan penduduk Kota Yogyakarta per tahun sebesar -0,37 persen. Sementara, pada periode tahun 2000 – 2010, laju pertumbuhan penduduk Kota Yogyakarta per tahun adalah -0,21 persen. Laju pertumbuhan penduduk ini tercatat sebagai yang terendah di DIY, jika dibandingkan dengan Sleman yang mencapai 1,96 persen, Bantul, 1,57 persen, Kulon Progo 0,48 persen, dan Gunungkidul 0,07 persen. Ketika data ini dihubungkan dengan data perumahan, kualitas hunian warga Kota Yogyakarta sebagian besar memiliki kualitas layak huni, yakni 95,64 persen (Data Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Yogyakarta, 2010). Bahkan 99,70 persen di antara seluruh rumah tangga di Kota Yogyakarta juga tercatat merupakan pengguna air bersih (non-perpipaan). Artinya, hampir seluruh warga Kota Yogyakarta memiliki kualitas hunian yang layak dan makin meningkat persentasenya dari tahun ke tahun. Hal ini mencakup pula permukiman yang berlokasi di bantara sungai, yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai permukiman kumuh. Jika data berkata lain, alasan apa lagi yang bisa digunakan untuk menjustifikasi bahwa rumah susun adalah kebutuhan dan solusi?

Kepentingan Investasi Berkedok Solusi

Sejumlah pakar menyebutkan hidup berkota adalah keniscayaan. Jumlah penduduk dunia yang hidup di kota semakin meningkat dari masa ke masa. Namun, setiap kota akan berkembang berdasarkan dinamika internal yang dibentuk penduduknya, yang terorganisasi di dalam kuarter. Kualitas kota kemudian akan ditentukan oleh kemampuan penduduknya untuk membangun sebuah kehidupan bersama. Hal inilah yang menurut Jo Santoso telah dirusak secara intensif selama proses pembangunan urban di masa Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi pasar. Setelah Orde Baru tumbang, permukiman perkotaan di Indonesia kebanyakan merupakan permukiman vernakular. Permukiman vernakular ini tumbuh lebih cepat daripada permukiman modern yang terencana. Namun, fakta menariknya, permukiman vernakular dalam basis kuarter (kampung) ini tidak hanya mampu menampung jumlah penduduk yang cukup banyak, tetapi juga menjadi ruang yang mampu memelihara keberadaan tradisi sosial budaya masyarakatnya. Hal inilah yang menjadikan kota-kota di Indonesia tetap memiliki karakter yang khas. Kota-kota dengan ciri budaya urban yang berbeda satu sama lain ini yang seharusnya jadi modal utama setiap kota dalam menghadapi persaingan global. Mengelola sebuah kota dan urbanitas di dalamnya tidak akan berhasil tanpa memperhitungkan keberadaan sistem urban yang spesifik seperti ini.

Dengan pemahaman tersebut, pemerintah seharusnya tidak lantas sekedar membangun kota sebagai permukiman “modern-terencana”. Keberadaan manusia dan ruang hidupnya harus didudukkan sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Gagasan rumah susun yang seolah-olah diajukan untuk menyelamatkan Kota Yogyakarta dari kepadatan, kekumuhan, dan ketidaknyamanan itu justru akan bisa menjadi perusak karakter kota itu sendiri. Padahal, hal tersebut muncul akibat kesalahan pembacaan atas situasi yang sebenarnya terjadi di Yogyakarta. Memadatnya dan semakin kumuhnya kota umumnya dilandasi oleh asumsi bahwa pemadatan permukiman yang terjadi di bagian dalam kota disebabkan oleh mengalirnya penduduk dari darah perdesaan yang terus-menerus. Sementara, data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta justru menurun dan hampir tidak ada permukiman kumuh (slums) di Yogyakarta. Jika pemerintah dapat membaca Yogyakarta sebagai sebuah city-region yang sesungguhnya, memang kota yang tepat berada di tengah Provinsi DIY ini menjadi pusat dari empat wilayah kabupaten di sekelilingnya. Namun, hal itu tidak lantas memunculkan urbanisasi yang masif dari wilayah perdesaan ke kota. Sebagian besar orang di kawasan Yogyakarta (DIY) masih sangat mudah melakukan mobilitas desa-kota, sehingga hampir semua orang di Yogyakarta mampu mengalami kekotaan dan kedesaan paling sering dan sehari-hari. Dalam perspektif ekologis, Yogyakarta sebagai city-region harus direncanakan secara utuh sebagai wilayah kesatuan yang menghubungkan warga dari setiap wilayah dengan baik, yang dampaknya bisa menuju pada kelestarian sumber daya.

Hunian vertikal berupa rumah susun akhirnya tidak perlu dipaksakan untuk dibangun di Yogyakarta. Selain dikhawatirkan merusak karakter kota berbasis kampung, keberadaannya justru akan memicu terjadinya migrasi ke wilayah perkotaan. Hal ini justru akan semakin melemahkan inisiatif pelestarian yang sudah berjalan. Kota semakin terbebani dengan pertumbuhan penduduk dan wilayah semakin kehilangan inisiatif pelestarian sumber daya. Apalagi, konsep rumah susun di Yogyakarta ini selain masih cukup lemah, juga disinyalir menyimpan agenda tersembunyi. Kepala Bagian Hukum Setda Yogyakarta Basuki Hari Saksono mengungkapkan kepada media bahwa sebenarnya paket perwal tentang rumah susun di Yogyakarta dapat dijadikan landasan pendirian rumah susun termasuk apartemen. Hal ini mengejutkan publik, mengingat masifnya pembangunan gedung bertingkat untuk hotel dan apartemen di wilayah kota dan kabupaten di Yogyakarta telah mendapatkan banyak kritik selama 2-3 tahun terakhir. Hingga kini, baik pemerintah Kota Yogyakarta maupun pemerintah kabupaten di sekitarnya, belum memiliki peraturan daerah yang secara khusus mengatur keberadaan apartemen. Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun pun secara normatif tidak mengatur keberadaan apartemen. Namun, salah satu jenis rumah susun yang diizinkan dibangun oleh UU adalah rumah susun komersial yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang, bukan oleh negara. Pembangunan gedung bertingkat untuk apartemen, menurut Basuki, dapat dilakukan karena sudah memiliki payung hukum berupa Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Gedung Bertingkat. Bahkan, jika paket perwal rumah susun sudah lengkap, transaksi jual beli kamar apartemen di Yogyakarta dipandang bisa dilakukan. Jadi, benarkah rumah susun adalah solusi bagi Yogyakarta? Ataukah hanya kedok untuk investasi modal yang lebih besar bagi duet oknum penguasa dan pengusaha?

Partisipasi dan Hak atas Kota

Sapto Nugroho menuliskan bahwa hingga kurun waktu 2006, sekitar 80-85 persen kebutuhan perumahan dipenuhi masyarakat tanpa bantuan institusi formal, sisanya oleh sektor formal. Pemerintah daerah hanya perlu mendorong pertumbuhan perumahan informal, berkewajiban membangun jaringan infrastruktur, fasilitas sosial, dan fasilitas umum. Sejarah kota-kota di Eropa pun mengalami proses dari perjuangan melawan kuasa teknokrasi, bahkan hingga tahun 1980-an. Perjuangan membuka partisipasi penduduk dalam perencanaan permukiman dan lingkungan di kota-kota dunia barat pun ditujukan sebagai keberpihakan terhadap rakyat yang lemah dan dilemahkan. Kota-kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta, sudah seharusnya menjaga ruang partisipasi yang secara organis sudah dimiliki sebagai modal sosial, bukannya justru menggantikannya dengan cara-cara teknokratis yang berdimensi bisnis. Upaya pengelolaan kawasan, khususnya untuk permukiman, sudah seharusnya tidak sekedar didasarkan atas pendekatan fisik-ruang maupun estetis semata, sekedar untuk menjadi bagian dari atraksi industri wisata. Solusi permukiman tak bisa muncul sepihak hanya dari sudut pandang pemerintah. Upaya pengelolaan permukiman harus didasarkan pada prinsip perencanaan kota bagi kepentingan warga, khususnya warga miskin, melalui gerakan permukiman yang benar dan sehat. Inisiatif seperti ini sudah lama muncul di Yogyakarta dan tak boleh dimatikan, antara lain yang diawali oleh Romo Mangun, yang dilanjutkan oleh Yayasan Pondok Rakyat, hingga muncul gerakan baru Arsitek Komunitas, dan lain-lain. Warga atau rakyat harus dipastikan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk dalam urusan permukiman. Penguatan kapasitas dan peran warga dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam setiap tahap pembangunan secara partisipatif akan menjadikan kota sebagai ruang bersama yang sebenarnya.

(Elanto Wijoyono)

Bahan Bacaan

Adi, Rezka Alifiano. 2015. Penataan Kawasan Bantaran Sungai menjadi Lebih Ekologis, Kasus Bantaran Sungai Code. Kompasiana. http://www.kompasiana.com/alifianorezkaadi/penataan-kawasan-bantaran-sungai-menjadi-lebih-ekologis-kasus-bantaran-sungai-code_5587b6bbe422bd69068b456c. Diakses pada 24 Juni 2015.

Adi, Rezka Alifiano. 2015. Rusunami, Solusi Permukiman Bantaran Sungai. Kompasiana. http://www.kompasiana.com/alifianorezkaadi/rusunami-solusi-permukiman-bantaran-sungai_54f9020da3331123098b4dd2. Diakses pada 24 Juni 2015.

Aditya, Iva. 2015. Masih Banyak Izin Perumahan Tak Sesuai Prosedur. Harian Kedaulatan Rakyat Edisi 12 Februari 2015. http://krjogja.com/read/248383/masih-banyak-izin-perumahan-tak-sesuai-prosedur.kr. Diakses pada 25 Juni 2015.

Atmasari, Nina (ed.) . 2015. Pemkot Jogja Tak Akan Keluarkan Izin Pembangunan Apartemen. Harian Jogja Edisi Jumat, 19 Juni 2015. http://www.harianjogja.com/read/20150619/1/546/pemkot-jogja-tak-akan-keluarkan-izin-pembangunan-apartemen. Diakses pada 25 Juni 2015.

Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta. 2013. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Yogyakarta 2013. Yogyakarta: BPS Kota Yogyakarta.

Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik. 2012. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Darrundono. 2006. Penghargaan Proyek MHT Bukan untuk Rumah Susun! dalam Politik Kota dan Hak Warga Kota; Masalah Keseharian Kota Kita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm: 231 – 234.

Kharisma, Wilujeng. 2015. Alih Fungsi Lahan Tak terkendali. Website MediaTani.com Edisi 8 April 2015. http://www.mediatani.com/2015/04/alih-fungsi-lahan-tak-terkendali-di.html. Diakses pada 25 Juni 2015.

Khudori, Darwis. t.t.. Tata Kota; Dari Teknokrasi ke Partisipasi. dalam Kampung; Kampung Menulis Kota, Kota Kampung Kita. Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat. Hlm: 5 – 13.

Khudori, Darwis. 2002. Menuju Kampung Pemerdekaan; Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-Akarnya, Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code. Yogyakarta: Yayasan Pondok Rakyat.

Kompas. 2014. Topik Pilihan: Kegagalan Proyek Rusun. http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/3255/1/kegagalan.proyek.rusun. Diakses pada 24 Juni 2015.

Nas, PJM. 2007. Kota dan Desa di Indonesia; Sebuah Pandangan Skeptis. dalam Kota-Kota di Indonesia; Bunga Rampai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm: 586 – 601.

Nugroho, Sapto. Penyediaan Permukiman Layak Terjangkau. dalam Politik Kota dan Hak Warga Kota; Masalah Keseharian Kota Kita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm: 248 – 250.

Santoso, Jo. 2006. [Menyiasati] Kota Tanpa Warga. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & Centropolis.

Sidik, Heri. 2015. Bantul Berlakukan Moratorium Penerbitan Izin Pembangunan Perumahan. AntaraNews.com Edisi 8 Juni 2015. http://jogja.antaranews.com/berita/332188/bantul-berlakukan-moratorium-penerbitan-izin-pembangunan-perumahan. Diakses pada 25 Juni 2015.

Sutaryono. 2015. Rumah Susun vs Apartemen. Harian Kedaulatan Rakyat Edisi 2 April 2015.

Wicaksono, Pribadi. 2015. DPRD Kota Yogyakarta Batasi Izin Apartemen Baru. Tempo.co Edisi 6 April 2015. http://travel.tempo.co/read/news/2015/04/06/204655495/dprd-kota-yogyakarta-batasi-izin-apartemen-baru. Diakses pada 25 Juni 2015.

Widiyanto, Danar. 2015. Izin Apartemen Jangan Dipaksakan. Kedaulatan Rakyat Edisi 2 April 2015. http://krjogja.com/read/254814/izin-apartemen-jangan-dipaksakan.kr. Diakses pada 25 Juni 2015.

Wijoyono, Elanto. 2014. Yogyakarta Kota Pusaka? Hal Penting Apa yang Harus Dilestarikan? Blog Elanto Wijoyono. https://elantowow.wordpress.com/2014/09/21/yogyakarta-kota-pusaka-hal-penting-apa-yang-harus-dilestarikan/. Diakses pada 25 Juni 2015.

Yayat Supriatna. Membangun Rumah Rakyat; Mampukan Kita Menjinakkan Pasar? dalam Politik Kota dan Hak Warga Kota; Masalah Keseharian Kota Kita. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm: 235 – 238.

Yoe/ah. 2009. 150 Lokasi Perumahan di Sleman belum Punya IMB. Republika Online Edisi 7 Februari 2009. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/09/02/07/29964-150-lokasi-perumahan-di-sleman-belum-punya-imb. Diakses pada 25 Juni 2015.

Yunus, Hadi Sabari. 2005. Manajemen Kota; Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

One thought on “Benarkah Rumah Susun Solusi bagi Yogyakarta?

  1. Klau saya sih suka rumah yang sendiri saja mas, kalau rumah susun itu memang hemat tempat, namun untuk sisi keselamatan dan lainnya, sepertinya kurang efektif

Leave a comment