Masalah penyelenggaraan reklame tidak bisa kita lepaskan dari manajemen ruang publik di suatu daerah. Jika kita bicara Yogyakarta, isu ini bisa dibahas untuk konteks Kota Yogyakarta atau konteks beberapa kabupaten yang ada di sekitarnya. Masing-masing kabupaten/kota memiliki manajemen penyelenggaraan reklame sendiri. Namun, setiap daerah memiliki pola masalah yang hampir serupa, terkait dengan isu regulasi, isu birokrasi, hingga isu strategi komunikasi dalam promosi dan publikasi.

Secara umum, setiap kabupaten/kota di Indonesia sudah memiliki aturan main tentang penyelenggaraan reklame, yang ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah (perda), peraturan bupati (perbup), atau peraturan walikota (perwal). Hal yang sering menjadi tantangan atau masalah adalah seberapa lengkap dan seberapa rinci aturan-aturan tentang penyelenggaraan reklame itu disusun. Juga, seberapa ketat pengaturannya dilaksanakan, serta seberapa ketat penegakan hukumnya dijalankan.

Aturan Main Penyelenggaraan Reklame; Seberapa Optimal

Pada konteks Kota Yogyakarta, sudah ada peraturan tentang penyelenggaraan reklame, antara lain meliputi Perda Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame dan aturan petunjuk pelaksanaannya pada Perwal Nomor 23 Tahun 2016. Namun, sebenarnya masih ada banyak celah pada regulasi yang ada. Apa indikatornya? Kita masih bisa melihat ada banyak pelanggaran reklame di ruang-ruang publik Kota Yogyakarta. Hal yang sama juga terjadi di empat kabupaten di sekitar Kota Yogyakarta.

Dengan adanya banyak pelanggaran, hal itu berarti masih ada celah dalam regulasi atau penegakan hukumnya masih lemah. Pada sisi lain, pelanggaran penyelenggaraan reklame juga muncul akibat masih kurangnya kesadaran hukum para pihak yang memanfaatkan reklame sebagai media informasi luar ruang, baik untuk iklan, promosi, maupun kampanye. Harus diakui, pengabaian aturan main masih sering dilakukan oleh banyak kelompok masyarakat.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum penyelenggaraan reklame. Pertama, regulasi yang tidak lengkap dan ketat mengatur tentang prosedur penyelenggaraan reklame. Kedua, ancaman sanksi atas pelanggaran penyelenggaraan reklame yang tidak kuat.

Misal, dalam Peraturan Bupati Sleman Nomor 13.1 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Reklame, pelanggaran reklame dalam bentuk pemasangan reklame liar atau tanpa izin hanya dikenai sanksi administratif. Artinya, jika terjadi pelanggaran, pemasang/pemilik reklame tidak dikenai sanksi pidana, melainkan hanya dituntut untuk mencopot materi reklamenya. Ringannya sanksi jelas potensial menyebabkan pelanggaran reklame di Kabupaten Sleman begitu masif.

Sementara, pelanggaran reklame di Kota Yogyakarta memiliki konsekuensi saknsi pidana, tetapi masuk dalam kategori pidana ringan. Dampaknya sama, ancaman sanksi hukum itu tidak dianggap serius, selain penuntutan hukum atas pelanggaran juga jarang dilakukan oleh aparat setempat. Akibatnya, dari sekian banyak pelaku periklanan atau pengguna jasa reklame di Yogyakarta, mereka tidak serta merta akan mengikuti aturan main yang ada.

Reklame dan Ruang Publik dalam Kerangka Perizinan

Akar masalah dari kekacauan penyelenggaraan reklame ini sebenarnya memiliki beragam faktor yang saling mempengaruhi dan cukup kompleks sifatnya. Pada bagian awal saya nyatakan, diskursus penyelenggaraan reklame itu memiliki hubungan erat dengan isu manajemen ruang publik. Pada konteks tersebut, ada beberapa hal yang bisa dijadikan cermin bagaimana suatu kota atau daerah dikelola. Reklame bisa muncul dan dipasang di ruang publik itu seharusnya karena memiliki izin. Izin diatur dalam regulasi, yang di dalam regulasi itu akan berisi banyak aspek perencanaan pengelolaan wilayah sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah tersebut.

Ketika penyelenggaraan reklame di suatu kota atau daerah terbukti berantakan, hal itu dapat mencerminkan bahwa proses penyelenggaraan manajemen perizinan di wilayah juga berantakan. Manajemen perizinan yang berantakan dapat lahir dari regulasi yang tidak cukup serius dirumuskan. Ketika suatu regulasi tidak serius dirumuskan; misal prosedur izin yang dirumuskan tidak ketat, sanksi yang lemah, serta banyak faktor lain yang tidak kuat dari paket regulasi itu, artinya sistem perencanaan di daerah tersebut dapat dipastikan juga tidak cukup komprehensif. Bahkan, lebih jauh, dapat meningkatkan potensi terjadinya tindak pidana korupsi.

Penyelenggaraan reklame jelas tidak bisa dilepaskan dari konteks perencanaan dan pembangunan. Semua saling terkait jika kita bisa mendudukkan karut marut ini sebagai cermin kualitas manajemen perizinan dan perencanaan pembangunan di suatu daerah. Kita bisa jadikan reklame sebagai indikator. Semakin baik tata kelola perizinan dan tata kelola perencanaan pembangunan suatu daerah, manajemen ruang publiknya akan relatif tertata dengan lebih baik pula, termasuk di dalamnya penyelenggaraan media luar ruang, seperti reklame.

Mencari Strategi Komunikasi di Ruang Publik

Beberapa kali terpantau perseteruan di media sosial, ketika ada satu kelompok mahasiswa/pelajar yang menyelenggarakan suatu acara dan mempromosikan kegiatan mereka dengan beragam pamflet, banner, atau poster secara sembarangan di ruang publik Yogyakarta. Pada beberapa kasus, ketika penyelenggara acara diingatkan mengenai kesalahan yang dilakukannya, ada yang merespon dengan marah, tidak terima disebut melakukan sesuatu yang keliru. Bagaimana situasi seperti itu dapat dicegah terus berulang?

Mahasiswa atau pelajar, sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang memiliki literasi informasi dan akses pendidikan yang lebih lengkap tentu diharapkan dapat memberikan contoh bagaimana secara kreatif dan solutif bisa memenuhi kebutuhan komunikasi publiknya tanpa merugikan kepentingan publik yang lebih luas di ruang publik. Jadi, ketika mahasiswa/pelajar di Yogyakarta menyelenggarakan suatu acara dan ada kebutuhan untuk mempromosikan kegiatan itu melalui publikasi, jangan kemudian egois. Mahasiswa/pelajar jangan hanya memikirkan publisitas kegiatannya saja dan mengabaikan faktor-faktor lain di ruang publik. Atau bahkan, defensif dan marah-marah ketika diingatkan untuk tidak menempelkan publikasi secara sembarangan.

Sebagai kelompok yang diharapkan menjadi agen perubahan, mahasiswa/pelajar tentu harus siap untuk tetap berpegang pada aturan main. Selemah apapun regulasi yang ada di suatu kabupaten/kota, ada aturan main tentang penyelenggaraan reklame yang harus dipatuhi. Prinsipnya, kita penting untuk konsisten mengikuti aturan yang ada. Jika kemudian ada pelanggaran yang mungkin kita lakukan, pastikan bahwa kita bersedia berbesar hati untuk mengakui kesalahan dan berkomitmen untuk tidak mengulangi. Penting juga untuk meneruskan komitmen tersebut dengan mencari solusi-solusi yang tidak hanya untuk membantu kegiatan kita sendiri, tetapi juga bisa menjadi contoh bagi kelompok-kelompok masyarakat lain. Harapannya, agar ketika ada kegiatan yang sama, strategi komunikasi yang cerdas seperti apa yang dapat dilakukan dapat dengan mudah dijalankan.

Ketika menyelenggarakan suatu acara, misalnya, menempelkan poster publikasi secara sembarangan di lampu atau rambu lalu lintas itu dapat segera dinilai tingkat efektivitasnya. Mahasiswa/pelajar tentu harus paham siapa kelompok sasaran dari acara yang mereka selenggarakan, sehingga metode komunikasi publik yang dilakukan dapat tepat dan tidak ngawur. Harapannya, mahasiswa/pelajar di Yogyakarta bisa sampai ke level itu. Mengikuti perilaku yang sudah biasa dan dianggap wajar, walaupun sebenarnya itu keliru, tentu sangat tidak diharapkan. Ada banyak perilaku penyelenggaraan reklame secara ngawur, tetapi dianggap sebagai kewajaran oleh banyak pihak. Jika hal tersebut salah atau keliru, tentu saja tidak harus diikuti. Ada banyak cara lain yang lebih cerdas dan tidak merugikan yang bisa dilakukan, antara lain dengan mengoptimalkan media berbasis teknologi informasi untuk melakukan publikasi yang lebih luas, tetapi sekaligus mampu semakin personal.

Hal-hal yang Belum Selesai

Masih ada satu dua ruang yang hampir tidak tersentuh hukum dalam konteks penyelenggaraan media luar ruang di Yogyakarta. Bahkan, banyak orang tidak berani membahasnya. Aparat penegak hukum pun juga tidak berani untuk menertibkan, atau bahkan memberikan sanksi jika terbukti ada pelanggaran. Media luar ruang tersebut adalah atribut-atribut organisasi kemasyarakatan (ormas), parta politik, dan kelompok suporter. Pada jenis media luar ruang seperti ini, regulasi yang mengaturnya masih cukup abu-abu. Beberapa aturan bisa dialamatkan ke regulasi tentang penyelenggaraan reklame. Namun, pada beberapa konteks yang lain harus diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), seperti ketika dalam masa pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Aturan tentang pemasangan atribut partai politik, pasangan calon, atau calon legislatif harus merujuk peraturan tersendiri dari KPU.

Namun, seharusnya, ada tidak regulasi yang mengatur, jenis media luar ruang di atas masih berada dalam ruang perdebatan yang hampir tidak tersentuh oleh hukum. Saya memiliki pengalaman beberapa kali melontarkan isu ini ke media sosial dan mendapatkan respon yang cukup ramai. Banyak kelompok yang ternyata belum cukup dewasa untuk bisa memahami bahwa atribut-atribut ormas, parpol, atau kelompok suporter ini sama seperti media luar ruang yang lain. Sama karut-marutnya di ruang publik.

Kekhawatiran saya, situasi ini akan menjadi preseden negatif pada isu manajemen ruang publik, ketika tidak ada kriteria atau standar aturan yang sama pada kasus-kasus tersebut. Dampaknya bisa melahirkan semacam kebijakan tebang pilih, mana yang harus atau bisa ditertibkan dan mana yang tidak bisa disentuh oleh hukum. Hal ini bisa menjadi situasi yang sangat tidak sehat ketika kita membicarakan isu ruang publik di Yogyakarta. Untuk mengurai masalah ini, tentu diperlukan satu ruang diskusi tersendiri karena untuk bisa menyelesaikannya tidak bisa hanya terpaku pada aturan main seperti apa yang bisa dijalankan. Konteks sosial politik di balik fenomena ini harus dipahami secara lebih dalam agar bisa menghasilkan pemahaman yang utuh menuju rekomendasi solusi yang dapat diterima semua pihak.

Yogyakarta, November 2020

Elanto Wijoyono

Sumber: IG @bemkm_ugm (https://www.instagram.com/tv/CHhxs14hrz_/?igshid=2xfbmduolu9s)

*Paparan di atas adalah penulisan ulang atas pernyataan saya dalam wawancara bersama Kemenkoan Pergerakan Kabinet Ruang Bersama BEM KM Universitas Gadjah Mada pada 30 Agustus 2020 di Yogyakarta, yang hasilnya telah dipublikasikan sebagai bagian dari konten video bertajuk “Bergerak Bersama Vol.1: Sampah Visual” pada 13 November 2020 melalui IG @bemkm_ugm
(URL: https://www.instagram.com/tv/CHhxs14hrz_/?igshid=2xfbmduolu9s | menit 09.20-22.00)

//www.instagram.com/embed.js

Leave a comment