Ubah Ancaman Jadi Peluang

“Bayangkan, 19 juta rupiah habis hanya untuk air,” kata Sukiman, tokoh warga muda di Dusun Deles, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah. Walaupun kawasan tersebut tampak hijau sejauh mata memandang, tetapi dapat dipahami memang bahwa tempat yang berketinggian rata-rata 1000 – 1.300 meter di atas permukaan laut itu tidak memiliki air semelimpah di kawasan yang lebih hilir. Akibatnya, setiap masuk musim kemarau, warga pedesaan di lereng tenggara Gunungapi Merapi itu harus bersiap menghadapi kekeringan. Tak hanya sebulan dua bulan, kekeringan itu mewujud pasti selama musim kemarau berlangsung, rata-rata 6 – 7 bulan lamanya, dari bulan April hingga Oktober; yang datang menghantui setiap tahunnya.

Hitung-hitungan di atas bukannya tanpa dasar. Warga pedesaan kaki gunung yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan penambang pasir tradisional itu tahu betul apa yang mereka perlukan untuk menghadapi yang mereka alami. Setidaknya, sebuah inisiatif muncul di satu RT (rukun tetangga) di Deles untuk menanggulangi ancaman kekeringan. RT tempat Sukiman berdiam itu terdiri atas 20 KK (kepala keluarga) dengan rata-rata anggota keluarga berjumlah 4 orang. Setiap KK memerlukan air sebanyak 230 liter per hari. Kebutuhan itu jika diperinci merupakan akumulasi dari beragam kebutuhan, mulai dari mandi dan cuci 100 liter, makan dan minum 60 liter, dan untuk ternak (rata-rata 3 ekor kambing dan 3 ekor sapi) sejumlah 70 liter air. Yup, tentu saja diperlukan air sebanyak 4600 liter untuk mencukupi kebutuhan di satu RT itu saja.

Jelas, air di banyak kawasan bukan lagi barang yang murah, justru makin mahal dan mungkin juga mewah. Untuk mendapatkan air sebanyak 5000 liter, warga harus keluar uang sejumlah Rp 150.000,00. Itu merupakan ukuran sebuah tanki. Jadi, selama 6 – 7 bulan musim kemarau, truk-truk tanki pengangkut air hilir mudik mengangkut air ke desa-desa di lereng Merapi sisi Klaten sudah menjadi pemandangan umum. “Namun, mereka hanya ada jika ada yang pesan,” urai Sukiman. “Pengusaha” pengangkut air itu sendiri sebenarnya juga warga desa setempat, yaitu beberapa orang yang memiliki truk. Mereka mengambil air di Ibukota Kecamatan Kemalang, sekitar 5 km dari tempat Sukiman tinggal. Air itu sebenarnya sangat murah, tak sampai puluhan ribu rupiah. Biaya transportasilah yang mahal, yang mencapai lebih dari seratus ribu rupiah. Bagaimana dengan air bantuan dari pemerintah kabupaten yang banyak diberitakan di surat kabar? “Sampai bulan puasa tahun ini saja truk tangki yang ngedrop air itu baru datang dua kali di dusun ini,” jawab Sukiman lepas. Jadi, bagaimanakah warga setempat selama ini mencukupi kebutuhan airnya selama musim kemarau? Ada beberapa tuk atau mata air kecil di sekitar desa yang masih mengalir airnya di musim kemarau. Namun, jumlahnya tetap tidak mampu mencukupi kebutuhan yang ada. Terlebih lagi, dengan masih maraknya penambangan pasir dengan alat berat di hulu Kali Woro menjadikan warga setempat khawatir sumber-sumber air yang ada semakin berkurang.

Berdaya, Tak Sekedar Bertahan

“Kami tahu kawasan kami punya banyak keterbatasan,” lanjut Sukiman, “tetapi kami tak mau hanya menunggu untuk bisa bertahan karena kami pun tahu daerah ini punya banyak potensi yang bisa dimanfaatkan.” Ya, adalah semangat dan gagasan yang tak kunjung padam dari pegiat-pegiat muda warga desa di lereng Merapi. Lereng gunungapi yang sering disebut-sebut dengan nuansa keterbelakangan jika dibandingkan dengan kondisi lereng Merapi di kabupaten lain itu justru menyimpan potensi luar biasa yang ada di dalam manusia-manusianya. Melihat tak kunjung terwujudnya perbaikan fasilitas dan pelayanan dari pemerintah kabupaten secara optimal menyebabkan mereka harus mampu bertahan dengan berbagai cara terbaik yang bisa dilakukan. Disadari pula bahwa kawasan tempat mereka tinggal adalah kawasan rawan bencana. Ancaman itu datang dari berbagai penjuru, terutama ancaman letusan Gunungapi Merapi dan ancaman kekeringan yang datang setiap tahunnya.

Untuk mampu bertahan di tengah berbagai ancaman itu, warga desa di kaki Merapi itu paham bahwa mereka harus bisa berdaya secara mandiri. Jika kemandirian dari sisi ekonomi sudah melekat pada diri warga maka dalam situasi ancaman seberat apapun mereka masih akan lebih mampu bertahan. Jadi, bukanlah mengada-ada jika mereka ngotot tinggal dan menjaga ternak serta lahan pertaniannya ketika erupsi Merapi berlangsung selama hampir empat bulan di paruh awal 2006 lalu. Namun, bukannya pasrah sama sekali. Pengungsian dilakukan terhadap warga yang rentan, sementara warga yang lain tetap aktif mengurusi lahan dan ternak, didukung oleh sistem informasi darurat bencana yang dikembangkan oleh warga desa sendiri. Mereka berjaringan dengan Pos Pengamatan Gunung Api Merapi melalui radio telekomunikasi (Rig/HT) yang pesannya mereka sebarkan secara menerus ke puluhan titik pos ronda swadaya yang berada di titik-titik teraman dari jangkauan awan panas dan lava pijar. Walaupun begitu, upaya pengungsian paksa pada bulan April 2006 ketika Merapi belum cukup mengancam bagi warga lereng tenggara menyebabkan gagal panen dengan kerugian ratusan juta rupiah untuk setiap jenis komoditas pertanian. Peristiwa itu membuat warga setempat semakin terpuruk dan justru trauma dengan penanganan penanggulangan bencana yang tidak tepat guna seperti itu.

Rencana “Menantang” Ancaman

Dalam menghadapi ancaman kekeringan yang tak kalah buruk dampaknya, selain mengandalkan beberapa tuk sebagai sumber air, warga secara swadaya membangun bak-bak air untuk menampung air, baik air hujan maupun air yang didapatkan dari sumber lain. RT tempat Sukiman berada saat ini telah memiliki 8 bak penampung air yang masing-masing mampu menampung volume air sejumlah 40.000 liter, sehingga bisa ada 320.000 liter air yang akan digunakan selama musim kemarau. Sementara, dengan kebutuhan 4.600 liter air per KK per hari maka selama 7 bulan musim kemarau dibutuhkan total 966.000 liter air. “Jadi, masih kurang 646.000 liter air,” jelasnya. Air sejumlah itu jika diwujudkan dalam bentuk tangki akan terbagi ke dalam 129 tangki air (dengan volume setiap tangki 5000 liter). Harga sembilan belas juta rupiah yang dikatakan Sukiman tadi adalah harga seluruh air dalam 129 tangki itu; yakni 129 tangki x Rp 150.00 = Rp 19.380.000,00. Biaya hidup yang tak sedikit yang harus dibayarkan oleh warga desa lereng Merapi. Menariknya, air sejumlah itu, menurut warga, akan bisa dipenuhi jika di RT mereka ada 16 bak penampung air tambahan dengan kapasitas volume yang sama dengan bak yang sudah ada.

Ya, tentu saja untuk mengadakannya juga perlu biaya. Perhitungan warga menerakan jumlah total Rp 87.360.000,00 untuk membangun 16 buah bak penampung air; atau Rp 5.460.000,00 sebuahnya. Total biaya itu jika diperinci, per baknya, meliputi biaya material sebesar Rp 3.750.000,00, biaya tenaga Rp 1.370.000,00, dan makan (konsumsi) sebesar Rp 340.000,00. Rata-rata perlu waktu setengah bulan kerja untuk mewujudkan satu buah bak penampung air. Jelas mereka memerlukan bantuan dana untuk mewujudkannya. Namun, warga setempat tak mau memulainya tanpa modal sama sekali. Warga menyatakan mampu memenuhi sebagian biaya pembangunan bak-bak tersebut, yakni pada sebagian biaya tenaga dan biaya konsumsi. Jika dihitung, kemampuan swadaya warga dalam pengadaan satu bak adalah Rp 910.000,00. Jika ada 16 bak air maka mereka sendiri sudah akan mengatasi sendiri biaya sebesar Rp 14.560.000,00. Jadi, masih ada kekurangan dana sebesar Rp 72.800.000,00.

Dari manakah dana sebesar itu akan dicari? “Kami akan melakukan penggalangan dana!” ungkap Sukiman menambahkan, “siapapun yang merasa peduli bisa turut menyumbang dan mendukung proyek kami ini.” Paling tidak, Sukiman dan pegiat warga sejawatnya telah punya cukup pengalaman dalam mengelola dana bantuan pembangunan. Mereka di desanya mendirikan sebuah radio komunitas bernama Lintas Merapi sejak awal tahun 2000an. Radio warga yang bersiaran di frekuensi 107.9 Mhz itu digiatkan oleh kelompok warga muda setempat dan mampu menginisiasikan munculnya beragam kelompok kegiatan. Forum Klaster Lereng Merapi Klaten misalnya, adalah salah satu kelompok kerja warga yang bergerak di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, dan kerajinan. Sukiman dan kawan-kawan aktif di sini sejak kelompok ini didirikan. Salah satu program kegiatan yang saat ini sedang digiatkan adalah peternakan. Mereka menawarkan jasa pemeliharaan ternak kambing kepada warga luar daerah Sidorejo, Kemalang dengan sistem bagi hasil (Jw: gadhuh). Beberapa warga Kota Yogyakarta, sebagian dari mereka adalah pegiat lembaga swadaya masyarakat dan akademisi rekanan Radio Komunitas Lintas Merapi, sudah menyambut tawaran tersebut dengan menggadhuhkan ternaknya.

Awal tahun 2008 lalu, anak-anak muda Deles yang bergiat sebagai penyiar di radio komunitas itu dengan lugas memanfaatkan jaringan internet yang mereka miliki untuk melakukan penggalangan dana pula. Sebuah program bertajuk “Tanam Air”; mereka menuliskan seri artikel mengenai pentingnya penghijauan di kawasan lereng Merapi dan rencana penanaman pohon di jalan-jalan desa di situs berita komunitas Jalin Merapi (Jaringan Informasi Lingkar Merapi). Tak dinyana, sambutan baik muncul dari pembaca, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti dari Sumatera, Banten, Jepang, dan Australia. Sebagian besar dari mereka adalah perantau asal Kecamatan Kemalang sendiri, selain beberapa rekan akademisi yang sedang tugas belajar di luar negeri. Hasilnya, sejumlah 32.000 Yen mampu terkumpul dalam jangka waktu kurang dari empat bulan dan penanaman bibit pohon cemara pecut di seantero jalan Desa Sidorejo pun terwujudkan.

Tidak untuk Sesaat, Tapi Seterusnya

Pastinya, dengan membangun 16 buah bak penampung air tambahan di wilayah RTnya, warga setempat bisa menekan pengeluaran sekitar 19 juta rupiah, yang hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air itu. Warga memperhitungkan juga bahwa hingga 25 tahun ke depan, bak air itu tidak akan banyak berubah. Ada kemungkinan kerusakan setiap bak sebesar 10% dan biasanya cukup dengan melakukan penambalan. Itu jelas jauh lebih murah jika dibandingkan selama 25 tahun warga harus selalu menyisihkan 19 juta rupiah, sehingga total mencapai sekitar 480 juta rupiah. Belum lagi jika ada kemungkinan inflasi nilai tukar mata uang. Menariknya, inisiatif ini memang sengaja diawali di satu RT tersebut karena gagasannya memang muncul dari warga RT setempat. Beberapa RT lain di Desa Sidorejo itu ada yang sudah mendengar rencana ini dan tertarik. Tentu saja hal itu disambut baik oleh Sukiman dan kawan-kawan untuk selanjutnya mengembangkan gagasan bak airnya ke warga lain yang membutuhkan. Pastinya dengan semangat gotong royong yang khas pedesaan dan begitu indah.

Sulit dipungkiri memang, bahwa tak ada yang lebih tahu tentang keadaan suatu daerah selain penduduk setempat. Di sini mereka membuktikan bahwa mereka mampu membaca kebutuhan lingkungan, yakni kelestarian, dan kebutuhan manusia, yakni kehidupan, secara seimbang. Rencana besar pembangunan bak penampungan air untuk mengatasi ancaman kekeringan di atas, serta gerak penanaman pohon, adalah salah sedikit contohnya. Dengan lugas, dan semoga itu tepat, warga Deles sudah berupaya untuk memotong rantai bencana; menjadikan ancaman sebagai peluang. Brilian!

Elanto Wijoyono

Tulisan ini dimuat di Buletin Kombinasi Edisi 26 bulan November 2008 (diterbitkan oleh COMBINE Resource Institution)

Kredit foto:
Foto mata air (Thomas Widiyanto)
Foto penanaman pohon (Lintas Merapi FM)

8 thoughts on “Berhemat dengan Bak Semen

  1. dapet foward email tentang hal ini dari temenku sekantor. aku punya sedikit teknologi dan pengetahuan tentang rainwater catchments system ato PAH yang sekarang masih kuimplementasikan di desa ke 8 Gunungkidul. kalo ada tangan tangan lain yang bisa melengkapi, sebisa mungkin aku turut membantu.

  2. @ Bege

    ini mas ato pak, ya? … :p
    Akan baik sekali jika memang hal tersebut bisa dikembangkan pula di lereng Merapi. Saia akan kirimkan kontak temen-temen lereng Merapi itu ke imel Anda, shg bisa langsung didiskusikan bersama.

    Salam,

    elanto wijoyono

  3. iya, luar dari biasanya.
    eh, tapi bukankah jenis pohon berdaun jarum tdk terlalu baik untuk peghijauan? akarnya memang besar tapi dia mengkonsumsi air lebih banyak daripada yg bisa disimpannya?
    mungkin salah, hanya sekedar konfirm aja.

  4. @listya
    Betul itu. Phon berdaun jarum memang rakus air, dan kurang menyerap karbon. Sama seperti pohon eucalyptus yang rakus air, tapi banyak ditanam menggantikan pohon pinus yang dibabat untuk bahan baku bubur keras di dataran tinggi kawasan Danau Toba.

Leave a comment