Satu Tahun #BelakangHotel; Ini Bukan Sekedar Film

Kerja Bersama sebagai Warga Berdaya


Rabu, 14 Januari 2015 malam, film ‪#‎BelakangHotel‬ ditayangkan perdana kepada publik di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Respon publik sangat luar biasa. Ratusan orang hadir untuk menonton film yang dikemas dalam konsep multiplex sederhana. Namun, ini bukan sekedar soal film, tapi soal isu dan masalah yang seharusnya bisa kita tanggulangi bersama. Film ini bukan jawaban, melainkan sebuah ajakan terbuka untuk bergerak. Ada energi yang harus terus dipelihara sebagai warga yang berdaya. Continue reading “Satu Tahun #BelakangHotel; Ini Bukan Sekedar Film”

Kasus Apartemen Uttara, Warga Tak Pernah Tinggal Diam!

Apresiasi Perjuangan Warga Berdaya Mengawal Pembangunan

IMG_6432 (copy).JPG
Hari ini, Selasa (12/01/2016), sidang terbuka pertama gugatan Izin Lingkungan Apartemen Uttara yang diterbitkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Sleman diadakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Yogyakarta. Gugatan ini dilakukan oleh warga Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta setelah melalui proses perjuangan yang panjang. Menghadapi pengusaha nakal yang berlindung di balik birokrasi pendukung agenda pertumbuhan, warga Karangwuni tak pernah tinggal diam. Continue reading “Kasus Apartemen Uttara, Warga Tak Pernah Tinggal Diam!”

Seberapa Ramah Ruang Publik Yogyakarta bagi Kelompok Rentan?

Jalan Panjang Advokasi Aksesibilitas bagi Warga Kota

Screenshot from 2016-01-04 22:27:12

Ada 8.335 penyandang disabilitas fisik di Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta (BPS DIY, 2015). Sebanyak 556 di antaranya tinggal di Kota Yogyakarta. Jumlah itu belum termasuk 3.049 tuna netra dan tipe penyandang disabilitas lainnya. Jumlah yang cukup besar, tetapi tidak banyak dari mereka bisa kita jumpai hadir di ruang-ruang publik kota, perkotaan, atau desa. Ketidakhadiran mereka di ruang publik bukan berarti karena mereka tidak ada atau tidak mau bersosialisasi, tetapi karena aksesibilitas ruang publik yang sangat buruk. Akhirnya, banyak dari penyandang disabilitas yang memilih diam di rumah daripada menghadapi kesulitan dalam perjalanan yang sebenarnya mereka idamkan. Continue reading “Seberapa Ramah Ruang Publik Yogyakarta bagi Kelompok Rentan?”

Bukan ini Ruang Publik yang Yogyakarta Butuhkan

Ajang hura-hura di jalan raya, ruang publik semu tanpa guna

IMG_8332

Hampir tiap hari Minggu, beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta ditutup dan riuh rendah dengan warga yang berkumpul. Ada warga yang berolah raga, ada juga yang menampilkan karya seni. Namun, hal itu tidak terbangun secara organis, melainkan dikemas dalam sebuah event berkonsep “Car Free Day“. Balutan sponsor menjadi bagian wajib dalam setiap penyelenggaraannya. Gelimang hadiah disebar ke banyak peserta pada acara di tengah jalan raya. Namun, ketika hari Minggu berlalu, hilang pula ruang berkumpul itu. Warga harus kembali menghadapi fakta carut-marutnya ruang kota, jalan yang berjejal kendaraan bermotor dan trotoar yang tak berguna. Continue reading “Bukan ini Ruang Publik yang Yogyakarta Butuhkan”

Kota, Ruang Publik, dan Ruang Khalayak

100_6076 (copy)

Pacione (2005) mendefinisikan urban dalam dua pengertian, yakni urban (kata benda) sebagai entitas fisik dan urban (kata sifat) sebagai kualitas. Ada empat metode prinsip yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ruang urban, meliputi besar populasi, basis ekonomi, kriteria administratif, dan definisi fungsional. Setiap negara memiliki batasan standard yang berbeda, baik untuk besar populasi, maupun basis ekonomi. Sejumlah negara mengkombinasikan analisis antar kriteria untuk mendefinisikan suatu ruang urban. Sebagian besar kota ditetapkan berdasarkan kriteria legal atau administratif. — Indra, 2008: 11

Continue reading “Kota, Ruang Publik, dan Ruang Khalayak”

Mencari Identitas dan Strategi Branding untuk Yogyakarta

Jogja

Sebagian dari kita mungkin pernah membaca tulisan karya Selo Soemardjan berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Penelitian itu menggambarkan dinamika perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta ketika Yogyakarta di bawah pendudukan rezim Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, dan Yogyakarta sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Komunitas di Yogyakarta yang sebelumnya hidup di alam sentralistis dan otokratis kemudian mendapati dirinya hidup dalam lingkungan yang desentralis dan demokratis. Dinamika berikutnya, mulai dari runtuhnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, menyebabkan perubahan selanjutnya. Pada periode ini identitas Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, kota seni, kota wisata, dan sebagainya mulai lahir dan tumbuh. Era reformasi 1998 dan kejadian gempa bumi besar 2006 menyumbang pengaruh terhadap dinamika perubahan yang lebih kontemporer. Munculnya Undang-Undang No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta seolah menjadi tonggak pencarian kembali identitas Yogyakarta untuk masa kini dan masa depan. Lalu, jika ada pertanyaan tentang apakah dan bagaimanakah identitas Yogyakarta saat ini, jawaban seperti apa yang bisa dipaparkan? Mengapa identitas menjadi suatu hal yang penting keberadaannya bagi komunitas dan kota seperti Yogyakarta? Ketika identitas itu ada, bagaimana memaparkannya ke publik, yang antara lain bisa dikemas dengan strategi branding? Continue reading “Mencari Identitas dan Strategi Branding untuk Yogyakarta”