Jalan Panjang Advokasi Aksesibilitas bagi Warga Kota

Screenshot from 2016-01-04 22:27:12

Ada 8.335 penyandang disabilitas fisik di Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta (BPS DIY, 2015). Sebanyak 556 di antaranya tinggal di Kota Yogyakarta. Jumlah itu belum termasuk 3.049 tuna netra dan tipe penyandang disabilitas lainnya. Jumlah yang cukup besar, tetapi tidak banyak dari mereka bisa kita jumpai hadir di ruang-ruang publik kota, perkotaan, atau desa. Ketidakhadiran mereka di ruang publik bukan berarti karena mereka tidak ada atau tidak mau bersosialisasi, tetapi karena aksesibilitas ruang publik yang sangat buruk. Akhirnya, banyak dari penyandang disabilitas yang memilih diam di rumah daripada menghadapi kesulitan dalam perjalanan yang sebenarnya mereka idamkan.

Penyandang disabilitas merupakan salah satu bagian dari kelompok rentan. Penduduk lain yang termasuk sebagai kelompok rentan adalah anak-anak, penduduk lanjut usia (lansia), dan ibu hamil. Penyadang disabilitas sendiri meliputi tuna netra, bisu, tuli, cacat fisik (physical handicap), cacat mental (mental handicap), penderita sakit kronis, dan penyandang disabilitas ganda. Kelompok rentan pasti ada di semua komunitas di seluruh penjuru dunia, termasuk Yogyakarta. Namun, bedanya, di banyak kota/wilayah di belahan negara lain, kelompok rentan bisa mendapatkan ruang mobilitas yang aman dan nyaman. Sementara, di banyak kota/wilayah di Indonesia, termasuk Yogyakarta, ruang mobilitas bagi kelompok rentan sangat tidak layak dan tidak menjamin keamanan dan keselamatan, khususnya dalam konteks pergerakan berjalan kaki/dengan alat bantu.

Situasi ini tidak hanya menerpa kelompok rentan. Penduduk kebanyakan pun tidak terjamin mendapatkan ruang mobilitas yang aman dan nyaman, khususnya saat menggunakan kendaraan non-motor atau berjalan kaki. Akibatnya, pengendara kendaraan non-motor, pesepeda, dan pejalan kaki sendiri pada konteks isu mobilitas yang lebih luas bisa termasuk sebagai kelompok rentan pula. Kebutuhan untuk merancang jalan raya dan ruang publik yang ramah bagi kelompok rentan adalah mutlak bagi sebuah kota/wilayah.

Yogyakarta dalam perjalanannya sudah mencoba untuk membangun sistem transportasi dan mobilitas yang ramah bagi seluruh penduduk. Trotoar dengan guiding block bagi tuna netra mulai dibangun sejak tahun 1999 di kawasan Malioboro. Jauh setelah itu, sistem transportasi publik dibenahi dengan lahirnya bus Trans Jogja pada tahun 2008 yang diharapkan juga mampu melayani kelompok rentan dengan lebih baik. Trans Jogja hadir hampir bersamaan dengan mulai dibangunnya jaringan jalur sepeda di sejumlah ruas jalan di kota Yogyakarta. Namun, penyediaan beragam fasilitas ini tidak lantas menyelesaikan persoalan.

Screenshot from 2016-01-04 22:29:07.png

Trotoar dengan guiding block selama bertahun-tahun hanya ada di Malioboro dan makin sulit diakses karena kalah dengan parkir kendaraan bermotor dan pedagang kaki lima. Bus Trans Jogja ternyata tidak mudah diakses kelompok rentan karena menggunakan tipe bus dengan pintu tinggi dan akses ke dalam shelter menyulitkan. Bahkan, shelter Trans Jogja justru banyak memakan ruang trotoar yang merugikan pejalan kaki dan kelompok rentan pengguna trotoar. Mereka tak jarang harus berlalu di badan jalan, mengikuti lajur sepeda yang juga masih sering diserobot untuk ruang parkir kendaraan bermotor.

Setelah mendapatkan banyak masukan dari publik, Yogyakarta mencoba berbenah kembali. Pemerintah Kota Yogyakarta sejak 2012 membangun trotoar dengan guiding block di banyak ruas jalan. Panjang trotoar yang dibenahi pada periode 2012 – 2013 oleh Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Yogyakarta mencapai panjang 6.785,6 meter. Upaya perbaikan lainnya dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta yang menetapkan wilayah Kotabaru sebagai kawasan percontohan ramah sepeda pada tahun 2014 oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta. Pembuatan marka jalur khusus sepeda dan penambahan rambu dilakukan pada tahun anggaran 2014.

Integrasi antara mobilitas berjalan kaki dengan bersepeda dan transportasi publik yang mudah diakses oleh semua kelompok warga menjadi hal akan dituju. Namun, apakah desain yang diterapkan dan pengawasan atas aksesbilitas yang dibangun itu benar-benar ramah bagi orang yang melintasinya, khususnya kelompok rentan? Nyatanya, aksesibilitas yang aman dan nyaman, khususnya bagi kelompok rentan, belum bisa didapatkan di Yogyakarta. Kotabaru sebagai kawasan percontohan sekalipun belum bisa dinilai ideal. Kesalahan desain trotoar dan shelter bus masih tetap terjadi, menyulitkan diaskes kelompok rentan. Akibatnya, desain yang telah terbangun itu hampir pasti banyak yang tidak termanfaatkan. Padahal, tidak sedikit anggaran daerah yang telah digelontorkan untuk pembiayaannya. Belum lagi, persoalan sosial seperti kooptasi ruang trotoar dan jalur sepeda untuk pedagang kaki lima dan parkir juga masih belum tertangani dengan solusi yang utuh.

Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah menegaskan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Hal itu termasuk penyediaan fasilitas pendukung seperti trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang cacat (disabilitas) dan manusia usia lanjut. Soal aksesibilitas ini kemudian tertuang pula dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, menegaskan arah Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas di konteks daerah. Komite Perlindungan Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta sebagai wujud amanat Peraturan Walikota Yogyakarta No. 8 Tahun 2014 juga sudah dibentuk. Namun, hingga kini, kualitas fasilitas publik yang ramah bagi kelompok rentan (termasuk penyadang disabilitas) masih jauh dari harapan.

Screenshot from 2016-01-04 22:25:07

Perlu selalu ada pengawalan oleh warga terhadap implementasi beragam paket aturan yang sudah ada ke wujud nyata. Konsistensi pemerintah untuk menjalankan komitmen pemenuhan hak aksesibilitas bagi seluruh warga, khususnya kelompok rentan, harus selalu diingatkan dan dipastikan layak kualitasnya. Ketiadaan visi inklusivitas dalam pembangunan serta komunikasi dan koordinasi yang lemah antar jajaran pemerintahan daerah harus selalu dikritisi. Dalam konteks aksesibilitas ini, kepentingan publik harus berada di atas kepentingan lain. Privatisasi dan komersialisasi ruang publik yang mengganggu aksesibilitas harus bisa ditanggulangi dengan langkah yang utuh.  Oleh karena itu, negara harus mampu secara adil, tepat, dan tegas memastikan prinsip itu terpenuhi. Warga akan terus mengawasi dan mengevaluasi.

Elanto Wijoyono
di Yogyakarta

* Catatan sementara dari sebuah proses observasi terhadap kualitas aksesibilitas di ruang publik dilakukan oleh kelompok warga Yogyakarta di wilayah Kotabaru, Yogyakarta selama bulan Desember 2015 – Januari 2016. Aksesibilitas yang diamati fokus pada ruang mobilitas bagi pejalan kaki dan kendaraan non-motor, seperti sepeda, serta transportasi publik, khususnya yang dilakukan oleh kelompok rentan. Proses ini merupakan inisiatif kolektif warga Yogyakarta dalam semangat warga berdaya yang hasilnya akan dibawa sebagai bahan advokasi kebijakan di tingkat kota/kabupaten dan provinsi. Hasil studi ini akan dipublikasikan melalui media-media pegiat gerakan warga berdaya di Yogyakarta.

Bahan Bacaan

Arifa Rusqiyati, Eka. 2013. Kotabaru akan Dijadikan Percontohan Ramah Sepeda. AntaraYogya.Com. http://jogja.antaranews.com/berita/312666/kotabaru-akan-dijadikan-percontohan-ramah-sepeda

Arifa Rusqiyati, Eka. 2014. Dishub Segera Realisasikan Kotabaru Percontohan Ramah Sepeda. AntaraYogya.Com. http://www.antarayogya.com/berita/320659/dishub-segera-realisasikan-kotabaru-percontohan-ramah-sepeda

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015. Yogyakarta: Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta

E013. Sultan kritik “guiding block” Malioboro tidak berfungsi AntaraYogya.Com. http://www.antarayogya.com/print/310260/sultan-kritik-guiding-block-malioboro-tidak-berfungsi

Esa. 2013. Pemkot Yogya Tambah Guiding Block untuk Tuna Netra. Tribun Jogja. http://jogja.tribunnews.com/2013/04/11/pemkot-yogya-tambah-guiding-block-untuk-tuna-netra

Hastuti, Mirna. 2003. The Effectivenes of Guiding Block for the Visuallu Disabled in Malioboro Street, Yogyakarta, Indonesia. Thesis submitted to the School of Graduate Studies, Universiti Putra Malaysia, in Fulfilment of Requirement for the Degree of Master Science.

Kartikasari, Utut. 2008. Trans Jogja sebagai Transportasi Penunjang Pariwisata Yogyakarta. Laporan Tugas Akhir diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Studi Diploma III Usaha Perjalanan Wisata Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ridarineni, Neni. 2015. Banyak Gedung di Yogyakarya tak Ramah pada Difabel. Republika.co.id. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/03/nysgmg384-banyak-gedung-di-yogyakarya-tak-ramah-pada-difabel

SAPDA. Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. http://www.sapdajogja.org/index.php/news/50-suatu-kebutuhan-di-kota-yogyakarta

Suhardi, Bambang., dkk. 2013. Redesain Shleter Bus Trans Jogja dengan Pendekatan Anthropometri dan Aksesibilitas. Jurnal Ilmiah Teknik Industri Volume 12 No. 2 Desember 2013. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sujatmiko, Tomi. 2013. 2014, Kotabaru Jadi Kawasan ‘Ramah’ Sepeda. Kedaulatan Rakyat. http://krjogja.com/read/176233/2014-kotabaru-jadi-kawasan-ramah-sepeda.kr

Warga Berdaya. 2016. Jogja Ramah Disabilitas?. https://wargaberdaya.wordpress.com/2016/01/03/jogja-ramah-disabilitas/

Widiyanto, Danar. 2014. Pemkot Bentuk Komite Perlindungan Penyandang Disabilitas. Kedaulatan Rakyat. http://krjogja.com/read/219122/pemkot-bentuk-komite-perlindungan-penyandang-disabilitas.kr

Leave a comment