Merencanakan Yogyakarta Pascapandemi

Pertanyaannya, kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir? WHO menyatakan bahwa pandemi akan berakhir ketika negara-negara di dunia memilih untuk mengakhirinya. Realitanya, masih jauh, ketika hingga saat ini baru separuh negara di dunia yang telah memberikan vaksin penuh kepada 10% penduduknya dan kurang dari seperempat negara di dunia yang telah memvaksinasi 40% populasinya (VOANews, 31/07/2021). Strategi mengakhiri pandemi tidak bisa tergantung hanya pada keberhasilan 1-2 negara. Bahkan, dalam satu negara, skenario mengakhiri pandemi juga tidak bisa tergantung pada kesiapan 1-2 daerah saja. Mempersiapkan kapasitas daerah untuk mampu merencanakan penanganan pandemi dalam jangka panjang menjadi penting, termasuk bagi Yogyakarta. Apakah pengalaman panjang DIY dalam menghadapi situasi bencana, seperti gempa bumi dan erupsi Gunungapi Merapi, akan terbukti menjadikan Yogyakarta lebih siap menghadapi pandemi?

Continue reading “Merencanakan Yogyakarta Pascapandemi”

Police Riot dan Pergub Anti Demokrasi

Menelisik motif di balik kebijakan pengendalian demonstrasi di ruang publik Kota Yogyakarta

Peristiwa kekerasan dalam aksi demonstrasi penolakan UU Omnibus Law di Malioboro pada Oktober 2020 lalu berbuntut panjang. Awal Januari 2021, aturan aksi di ruang publik Kota Yogyakarta diperketat oleh Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan dalih menjaga ketertiban dan keamanan obyek vital nasional. Jaringan masyarakat sipil melaporkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas kebijakan yang dinilai melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Ada urgensi untuk mengungkap agenda atau kepentingan politik lokal atas dampak dari narasi “kerusuhan” yang disematkan pada kejadian yang sarat indikasi sebagai “police riot” itu.

Continue reading “Police Riot dan Pergub Anti Demokrasi”

Karut Marut Reklame dan Manajemen Ruang Publik Yogyakarta

Masalah penyelenggaraan reklame tidak bisa kita lepaskan dari manajemen ruang publik di suatu daerah. Jika kita bicara Yogyakarta, isu ini bisa dibahas untuk konteks Kota Yogyakarta atau konteks beberapa kabupaten yang ada di sekitarnya. Masing-masing kabupaten/kota memiliki manajemen penyelenggaraan reklame sendiri. Namun, setiap daerah memiliki pola masalah yang hampir serupa, terkait dengan isu regulasi, isu birokrasi, hingga isu strategi komunikasi dalam promosi dan publikasi. Continue reading “Karut Marut Reklame dan Manajemen Ruang Publik Yogyakarta”

Proyek Rekonstruksi Pojok Beteng Kraton Yogyakarta; Konservasi atau Manipulasi?

Screenshot from 2019-08-03 13-38-07.png
Bagian Peta Kota Yogyakarta tahun 1925 (skala asli 1:10.000) yang menunjukkan wilayah sekitar pojok beteng lor wetan Kraton Yogyakarta (Sumber: Leiden University Library)

Masih belum jelas, justifikasi ilmiah apa yang dipakai Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) untuk merekonstruksi bangunan Pojok Beteng Lor Wetan (timur laut) Kraton Yogyakarta. Padahal, bangunan asli yang merupakan bagian dari benteng baluwarti itu sudah hancur sejak lebih dari 200 tahun yang lalu akibat serbuan pasukan Inggris-Sepoy. Jika dipaksakan, proyek rekonstruksi cagar budaya nasional ini dikhawatirkan tak bisa dinilai sebagai upaya konservasi, tetapi justru sebagai langkah manipulasi. Continue reading “Proyek Rekonstruksi Pojok Beteng Kraton Yogyakarta; Konservasi atau Manipulasi?”

Habiskan Anggaran Besar, Trotoar Baru Jl. Pasar Kembang Sulit Diakses Warga Difabel

Revitalisasi trotoar Jl. Pasar Kembang, Yogyakarta oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) selama kurun waktu 2017-2018 ternyata belum menghasilkan aksesibilitas yang baik. Warga difabel masih kesulitan untuk mengakses trotoar baru yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp 1 miliar itu. Pemasangan bollard (patok/tiang pembatas) yang ditujukan untuk mencegah penyalahgunaan trotoar, justru menghalangi guidingblock tunanetra dan terlalu sempit untuk dilalui kursi roda. Continue reading “Habiskan Anggaran Besar, Trotoar Baru Jl. Pasar Kembang Sulit Diakses Warga Difabel”

Satu Data dengan Sistem Informasi Desa

screenshot from 2019-01-03 15-11-01
Image: https://www.combine.or.id/archive/69

Pemerintah mengakui bahwa selama ini belanja perangkat lunak (aplikasi) dan lisensi perangkat lunak sangat tidak efisien. Setiap tahun, pemerintah rata-rata menghabiskan anggaran lebih dari Rp 4.230.000.000.000,- (empat triliun dua ratus tiga puluh miliar rupiah) untuk belanja teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Total belanja TIK pemerintah periode 2014-2016 saja mencapai lebih dari Rp 12.700.000.000.000,- (dua belas triliuan tujuh ratus miliar rupiah). Tren ini meningkat setiap tahun. Namun, dari biaya sebesar itu, ditemukan bahwa 65 persen dari belanja TIK pemerintah itu digunakan untuk membangun aplikasi yang sejenis antar instansi pemerintah. Dari 2700 pusat data di 630 instansi pusat dan pemerintah daerah (data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018), tingkat penggunaannya pun secara nasional rata-rata hanya 30 persen dari kapasitasnya.

Continue reading “Satu Data dengan Sistem Informasi Desa”

Ironi Pelestarian Pusaka Kota Budaya

Screenshot from 2018-03-11 17-11-23

Tanggapan Pemerintah Kota Yogyakarta atas pembongkaran rumah kuno di Kotabaru memperpanjang daftar ironi praktik pelestarian di kota budaya. Walaupun Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 6 Tahun 2012 telah menetapkan Kotabaru sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB), bangunan di wilayah itu boleh dibongkar jika belum ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) atau Bangunan Warisan Budaya (BWB). Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta memastikan rumah di Jl. Juwadi No. 7 itu bukan BCB atau BWB. Dinas Kebudayaan dan Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (TP2WB) hanya merekomendasikan pemilik rumah untuk membangun sesuai dengan corak bangunan di Kotabaru. Sebagai regulator, Pemkot Yogyakarta lagi-lagi tampak mencoba menyederhanakan keadaan dan lepas tangan dari tanggung jawab dengan mempermainkan definisi. Continue reading “Ironi Pelestarian Pusaka Kota Budaya”

#JogjaAsat, Seruan Keadilan Air untuk Rakyat

Memperkuat Kapasitas Warga untuk Mengatasi Masalah Tata Kelola Air dan Risiko Pembangunan di Kota Yogyakarta

2017 08 - Jogja Asat

Rabu, 6 Agustus 2014, publik Yogyakarta dikejutkan oleh aksi mandi pasir oleh Dodok Putra Bangsa, seorang warga kampung Miliran di depan Fave Hotel Kusumanegara Yogyakarta. Media menyebutnya aksi teatrikal. Padahal, aksi tersebut sebenarnya merupakan bentuk protesnya kepada manajemen Fave Hotel atas keringnya puluhan sumur warga Kampung Miliran yang berada tepat di belakang hotel. Mewakili warga kampungnya, Dodok menyebutkan bahwa ada indikasi kuat keringnya sumur warga ini disebabkan oleh penggunaan sumur air tanah dalam oleh pihak hotel. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta ketika dikonfirmasi oleh media membantah pernyataan Dodok dengan penjelasan bahwa keringnya sumur warga kemungkinan besar diakibatkan oleh dampak kemarau dan banyaknya warga yang menggunakan sumur air tanah dangkal [i]. Sumur air tanah dalam Fave Hotel yang menyedot air 80 meter dari permukaan tanah menurut BLH Kota Yogyakarta tidak akan mempengaruhi ketersediaan air tanah dangkal. Namun, selang satu bulan, pada 1 September 2014, Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta melakukan penyegelan sumur air tanah dalam Fave Hotel. Tindakan ini dilakukan oleh karena Fave Hotel hanya memiliki izin pengeboran air tanah dan belum memiliki izin pemanfaatan air tanah. Secara teoritis, penggunaan air tanah dalam tidak akan mempengaruhi air tanah dangkal atau sumur-sumur warga. Namun, Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta mengakui, air tanah dangkal dapat tersedot ke lapisan tanah yang lebih dalam jika terjadi kebocoran [ii]. Hanya satu minggu setelah sumur air tanah dalam Fave Hotel disegel, sumur warga di Kampung Miliran kembali terisi air. Padahal, di tahun 2014, musim kemarau masih berlangsung hingga bulan November [iii]. Continue reading “#JogjaAsat, Seruan Keadilan Air untuk Rakyat”

Kutukan Penjajahan dan Penjarahan dalam Sejarah Kasultanan Yogyakarta

100_3915

Awal runtuhnya Tanah Jawa telah terjadi pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II. Pengingkaran Sultan HB II atas wasiat ayahandanya, Sultan HB I, menjadikan Kasultanan Yogyakarta mengalami malapetaka. Keraton Yogyakarta diserang dan dijarah habis oleh pasukan Inggris-Sepoy pada 20 Juni 1812, sebagai tanda hadirnya tatanan baru imperialisme Eropa yang lebih perkasa. Upaya melawan “kutukan” itu sempat dilawan oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825 – 1830) dan Sultan HB IX di masa Republik Indonesia. Kini, kutukan itu mungkin akan kembali terulang ketika Sultan HB X melakukan sejumlah pengingkaran terhadap wasiat Sultan HB IX yang tak lain adalah ayahandanya. Continue reading “Kutukan Penjajahan dan Penjarahan dalam Sejarah Kasultanan Yogyakarta”

Sejarah Pelestarian dan Masa Depan Peradaban

Pelajaran untuk Bebas dari Pembangunan

9022692116_dfd0104d06_k
Pelestarian ternyata memiliki sejarah kelam ketika digunakan sebagai jalan masuk imperialisme selama masa kolonial. Pelestarian pada sisi kelam itu jelas berbeda dengan laku tradisi dalam memunculkan, menghidupkan, dan melestarikan alam dan budaya sebagai pusaka, baik di tingkat komunitas maupun bangsa. Pusaka dalam tradisi rakyat  lahir dan terjaga dari generasi ke generasi, diwariskan dalam bentuk kebudayaan dalam unsur-unsurnya. Kini, pelestarian jika dipahami dan dijalankan secara utuh, dapat dijadikan pijakan untuk menggantikan (konsep) pembangunan. Masa depan peradaban kita tergantung pada seberapa mampu kita melakukan pelestarian, bukan seberapa banyak kita melakukan pembangunan. Continue reading “Sejarah Pelestarian dan Masa Depan Peradaban”