Mendulang Pesimisme Pelestarian Pusaka

.

Bangunan seluas 15.129 meter persegi itu jelas tak mampu menutupi bangunan seluas 20.000 meter persegi. Tinggi bangunan berusia sekitar 1200 tahun yang hanya 34,5 meter saat ini pun jelas tak mampu menandingi bangunan enam lantai yang baru akan berusia dua tahun pada tanggal 5 Maret 2008 mendatang. Tak hanya itu, orang yang berkunjung ke bangunan tua itu jauh di bawah kunjungan orang ke bangunan baru nan megah satunya, 5460 rata-rata per hari (data tahun 2005) dibandingkan dengan 25.000 – 30.000 rata-rata kunjungan per hari.

.

Borobudur dan Ambarukkmo 1 Borobudur dan Ambarukmo 2

Borobudur Sang Mahakarya pun tertunduk lesu di hadapan Ambarrukmo Plaza (Amplaz) yang begitu congkak terbahak mengalaskan salah satu kakinya di tengkuk gandok tengen pesanggrahan kraton peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

.

Interpretasi bernada sinis itu spontan muncul begitu menyaksikan salah satu karya seniman Belanda Krijn Christiaansen yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti – Yogyakarta akhir Januari ini. Lalu, mata tertuju pada seri foto yang tertempel di sudut denah, tampak Krijn yang bule itu sedang menyapu lantai atrium Amplaz dengan sapu lidi, lengkap dengan gestur badan membungkuk dan tangan dilipat ke belakang, serupa gestur kebanyakan perempuan Jawa ketika menyapu halaman rumah. Ketika ditanya, “Kenapa menyapu?” . “It was a garden, right?” , balasnya. Aha…

.

Sebuah denah rekonstruksi Pesanggrahan Ambarrukmo pada masa awal memang menunjukkan bahwa lahan di sisi barat tempat Amplaz berdiri saat ini adalah kebon raja; kebuh buah dan kandang kuda. Usai masa revolusi kemerdekaan, ketika bangunan pesanggrahan dipakai sebagai kantor dinas dan pemerintahan secara bergantian, sebagian besar lahan kebun di area pesanggrahan itu tidak terawat secara khusus. Dari beberapa warga senior yang tinggal di sekitar Amplaz pun diceritakan bahwa lahan itu sempat dijadikan tempat pembuangan tanah dari lahan di sisi timur pesangggrahan didirikan Hotel Ambarrukmo pada awal dekade 60-an. Diceritakan pula bahwa di sana pun pernah ada beberapa kolam kecil yang sering diziarahi orang, tersembunyi di antara rerimbunan pohon. Terakhir, pada sisi selatan lahan itu dulu berdiri kompleks SD Negeri Ambarrukmo dan lapangan tenis, sisanya menjadi kebun anggrek. Namun, semuanya terpaksa digusur dari Sultan Ground ketika Amplaz didirikan berikut separuh sisi bangunan gandok tengen. Sementara, kebon raja, gandok kiwa, dan pecaosan sudah terlebih dahulu tergusur ketika Hotel Ambarrukmo didirikan.

.

Denah Rekonstruksi Pesanggrahan Ambarukmo

.

Mempertanyakan hitungan pertimbangan

.

Mempertanyakan kenapa? Perhitungan apakah yang dijadikan pertimbangan oleh Kraton Yogyakarta ketika membangun Amplaz yang tak urung menuai keprihatinan banyak pihak terhadap kelestarian tinggalan budaya di Yogyakarta. Pertama, itu adalah Sultan Ground, sehingga memang menjadi hak sultan untuk mengusahakannya. Seperti yang berulang kali didengungkan oleh Kepala Urusan Rumah Tangga Keraton Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, keraton sebagai pemilik lahan ingin memberdayakan lahan keraton agar lebih berdaya guna, baik untuk keraton sendiri maupun bagi masyarakat. Ukuran manfaat di sini banyak merujuk pada ketersediaan lapangan kerja yang terbuka ketika hypermall ini bisa beroperasi. Juga, dengan digandengnya kelompok pengusaha lokal Yogyakarta _ Tjia Edi Susanto dan Lilik Oetomo _ sebagai pengembang dan pengelola, diperhitungkan bahwa uang yang masuk ke mal itu nantinya tidak semuanya lari keluar Yogyakarta, tetapi tetap ada yang beredar di Yogyakarta.

.

Kedua, masih menurut Hadiwinoto yang merupakan adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, adalah karena pemasukan yang akan diterima nantinya akan menjadi sumber pembiayaan aset-aset Kraton Yogyakarta yang tersebar di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Raden Mas Tirun Marwito, salah satu kerabat Keraton Yogyakarta, menyatakan bahwa biaya pemeliharaan aset dan pembayaran gaji abdi dalem selama ini yang selama ini didapat dari pemerintah pusat sudah berhenti dikucurkan dan anggaran pemerintah daerah yang ada terlalu minim. Oleh karena itu, Sultan memandang tanah itu harus diupayakan untuk menggalang dana. Pemerintah daerah pun akan meraup pendapatan yang akan digunakan sebagai pemutar roda pembangunan.

.

Ketiga, berulang-ulang dalam berbagai forum Hadiwinoto menyatakan bahwa pembangunan Amplaz tidak bakal membongkar gandok maupun pendapa Pesangggrahan Ambarrukmo. Hadiwinoto sendiri mengaku bisa memastikannya karena ia sendiri yang menandatangani surat pembangunannya. Keraton Yogyakarta tidak mungkin mengorbankan bangunan peninggalan Almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono VII itu karena jelas sarat nilai. Bahkan, pada tahun 2004 pun tercatat bahwa putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun pernah menyatakan bahwa dirinya sangat menyayangkan jika gandok tersebut harus dibongkar. Menurutnya, mestinya ada cara lain yang lebih baik dalam membangun mal tanpa harus merusak situs budaya.

.

Mengukur hitungan ala Ambarrukmo

.

Salah satu penyebab mengapa kita sering salah langkah, salah perkiraan, hingga salah kebijakan adalah karena kita masih terlalu sering menghitung, tetapi lupa mengukur. Menghitung, seringkali menjadi aktivitas yang tak lebih dari sekedar membilang; menjumlahkan, mengurangi, membagi, memperbanyak. Tak lebih dari upaya untuk mencari tahu jumlah. Kadang kita pun lupa untuk mengukur. Mengukur tidak saja menjadi kegiatan untuk mencari tahu ukuran; panjang, luas, tinggi, berat. Namun, mengukur juga menjadi kegiatan untuk menilai mutu dengan cara membandingkan, menguji, mengira, mencoba, dan semacamnya. Dengan mengukur, kita tak cuma tahu jumlah, tetapi juga akan tahu apakah tindakan kita itu sesuai, sepadan, seimbang, atau sudah sepatutnya dan selayaknya.

.

Pendapa dan Pringgitan Dalem Pesanggrahan Ambarukmo, Latar Belakang Hotel Ambarukmo Salah satu sudut gandok tengen Pesanggrahan Ambarukmo yang menempel pada dinding Ambarukmo Plaza

.

Mencermati perhitungan yang menjadi alasan didirikannya hypermall di Ambarrukmo, tampaknya perlu diuji dengan beberapa ukuran lain sebagai pembanding. Pertama, jelas perlu dipertanyakan apa ukuran yang dipakai untuk menilai daya guna lahan kebon raja itu. Ketika sebuah sekolah berdiri di atas lahan dianggap sebagai tidak berdaya guna maka mestinya ada yang salah. Walaupun akhirnya siswa sekolah tersebut dipindahkan “baik-baik”, tetapi tampak bahwa pada akhirnya pihak keraton dan pemerintah daerah jelas-jelas lebih mengedepankan kepentingan kapitalis daripada perbaikan secara nyata pada penyelenggaraan pendidikan di DIY. Memang jelas, jika dihitung-hitung, pendapatan yang akan bisa diraup akan lebih banyak jika sebuah hypermall berdiri di atas lahan itu. Benar bahwa masih ada banyak Sultan Ground yang diizinkan digunakan sebagai lahan sekolah atau kampus dan tidak diganggu, setidaknya hingga saat ini. Namun begitu, dilihat dari ukuran kesesuaian; apakah hal itu patut atau layak dilakukan?

.

Kedua, menjadi kasatmata bahwa sebenarnya pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, di Yogyakarta tidak memiliki visi dan grand design yang jelas, baik dalam hal pengelolaan kawasan cagar budaya maupun dalam hal tata ruang kawasan permukiman. Menjadi ironis ketika dengan dalih untuk penggalangan dana pemeliharaan aset-aset budaya justru dengan merusak tinggalan budaya yang seharusnya dijaga. Lalu, di manakah potensi terwujudnya “Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan”; sebagaimana tertulis sebagai visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah?

.

Salah satu kamar di Pesanggrahan Ambarukmo Patung prajurit kraton di bagian Dalem Pesanggrahan Ambarukkmo

.

Hariadi Saptono mempertanyakan apakah mungkin bisa muncul kebijakan tata kota yang meneguhkan kekhasan kawasan bersejarah dan penambahan fasilitas pasar rakyat, bukannya mal-mal para pemilik modal besar. Belum tampak adanya pewadahan terhadap semangat hidup bersahaja, toleransi, dan pembelaan keraton pada wong cilik yang terwujudkan. Di balik idiom Tahta untuk Kesejahteraan Sosial Masyarakat, pemerintah daerah di Yogyakarta dan Keraton Yogyakarta telah memberi jalan kepada kekuatan modal raksasa dan nilai kapitalisme global. Legitimasi kultural keraton pun tereduksi di mata masyarakat akibat kasus Ambarukkmo itu; komitmennya sebagai pewaris dan pelestari kebudayaan. Legitimasi politik Pemerintah Provinsi DIY dan Keraton Yogyakarta pun turut menurun sebagai paradoks dari perayaan kemenangan proyek mal terbesar dan terlengkap di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Bahkan tak ada yang mampu menjamin ketersediaan lapangan kerja yang layak dan arus uang yang tetap berputar di lokal Yogyakarta sebagai ikutan dari berdirinya pusat-pusat perbelanjaan tersebut di tengah peluang pasar mal yang sangat kecil di Yogyakarta. Apa gerangan yang ada di benak Sultan dan atau Gubernur DIY yang melebarkan jalan investasi banyak mal, bukannya investasi kegiatan ekonomi kerakyatan yang sejati?

.

Ketiga, terbongkarnya gandok tengen Pesangggrahan Ambarrukmo sebagai dampak dibangunnya Amplaz jelas membuktikan bahwa, baik pihak PT Putera Mataram Mitra Sejahtera (PT PMMS) sebagai pengembang, Keraton Yogyakarta sebagai pemilik lahan, dan Pemerintah Provinsi serta Kabupaten Sleman dengan dinas-dinasnya yang berwenang, tak mampu mengukur tujuan proyek. Tak hanya tujuan konseptual untuk tetap membangun tanpa merugikan situs keraton yang gagal diukur, tetapi juga gagal mengukur kondisi lapangan. Ya, bahwa dengan luas tanah yang ada bisa diukur luas bangunan yang akan didirikan di atasnya. Jika bukan salah ukur, bagaimana mungkin luas bangunan Amplaz bisa melebihi luas lahan yang ada, sehingga harus membongkar separuh bangunan gandok tengen? Tak tampak pula janji konsep menyatukan kedua bangunan itu secara anggun. Separuh bagian gandok tengen yang terbongkar itu hanya menjadi jalur keluar kendaraan dari lokasi parkir bawah tanah Amplaz; tidak lebih. Itulah… soal matematika sederhana yang aku yakin siswa SDN Ambarrukmo pun mampu menjawabnya dengan tepat.

.

Foto udara Ambarukmo, situasi sebelum Ambarukmo Plaza didirikan

.

Adegan tak wajar pun menjadi semakin tercium ketika proses pembongkaran gandok tengen itu bisa lolos dari jerat hukum atas tuntutan pelanggaran pelestarian, sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Ternyata, secara yuridis, selain kompeks tersebut milik keraton juga bahwa kompleks tersebut belum berstatus cagar budaya. Semua tuntutan pelestarian itu pun akhirnya hanya sebatas tuntutan moral atas komitmen Sultan HB X untuk menjaga pusaka budaya Yogyakarta. Entah mengapa status cagar budaya Pesanggrahan Ambarrukmo yang diajukan sejak sebelum tahun 1998 baru resmi dikeluarkan pada tanggal 26 Maret 2007 (1). Pun dalam Peraturan Daerah Provinsi DIY No. 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya (KCB dan BCB) yang diundangkan pada tanggal 27 Desember 2005, ketika Amplaz sedang dibangun, di dalamnya tak menyebutkan jenis sanksi apapun bagi pelanggaran dan perusakan cagar budaya.

.

Menghitung hari, mengukur komitmen

.

Suka tidak suka, kasus-kasus tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi sosial politik di Yogyakarta. Keberadaan dua institusi penting, yaitu pemerintah daerah dan Keraton Yogyakarta, yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban _ yang kadang menjadi ambigu, tak jelas batasnya _ menjadi penyumbang utama keruhnya suasana. Dari sisi sosial budaya, menurut Bayu Wahyono, posisi Keraton Yogyakarta sebagai entitas budaya Jawa pun menjadi lemah, sebagai akibat tekanan modernisme internasional yang dihadapi oleh masyarakat Yogyakarta. Posisi tawar kebudayaan dan politik keraton menurun. Sangat disayangkan, di tengah gejolak tersebut, keraton sendiri dan Sri Sultan Hamengku Buwono X justru sering menunjukkan pandangan yang berbeda dari pilihan nilai masyarakat Yogyakarta. Padahal, kebanyakan peran besar untuk mengembangkan dan mengejawantahkan nilai-nilai budaya Yogyakarta itu muncul dari banyak pihak, sebagian besar di antaranya bukan kalangan darah biru.

.

Dari sisi politis, berdasarkan wawancara terhadap George Junus Aditjondro oleh Mulyani Hasan, kebingungan di atas bisa sedikit terjelaskan. Sultan HB X tidak memiliki putera laki-laki, sehingga tahta dan warisannya akan jatuh ke tangan kerabat lain. Oleh karena itu, selama bertahta, ia sekaligus mempersiapkan warisan bagi anak-anak perempuan dan keluarganya melalui bisnis-bisnis yang dijalankan. Keluarga sultan, termasuk kelima puteri, menantu, dan mertuanya adalah pebisnis. Tanah terluas di DIY dimiliki oleh keluarga sultan tentu saja. Salah satu puteri sultan memroduksi rokok Keraton Dalem bekerja sama dengan Sampoerna. Bisnis perikanan dan peternakan sapi di lereng Merapi juga dikuasai keluarga sultan, selain penguasaannya terhadap anak perusahaan Aqua; produksi Danone, serta pemilik Ambarrukmo Plaza dan Hotel Ambarrukmo yang menggandeng investor dari Perancis, Carrefour.

.

Ruang Dalem Pesanggrahan dilihat dari sisi utara (belakang) Bagian dalam ruang Dalem Pesanggrahan Ambarukmo

.

Ketidakpastian itu mendulang pesimisme pelestarian

.

Segala ketidakjelasan dan ketidakpastian, baik dari sisi komitmen pelestarian pusaka budaya hingga penerapan atas supremasi hukum yang adil, menjadi muara keraguan apakah upaya-upaya pelestarian di Yogyakarta selama ini dan ke depan bisa dikatakan berhasil? Tidak bisa dipungkiri lagi ketika sebagian masyarakat Yogyakarta sendiri menganggap “perjuangan” pelestarian pusaka budaya selama ini gagal. Gerakan-gerakan pelestarian di Yogyakarta yang selama ini digawangi oleh pemerintah di bawah wewenang Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta, Dinas Pariwisata, dan Dinas Kebudayaan sebagian besar berhenti ketika tinggalan budaya itu sudah bisa “terselamatkan” sebagai monumen, atraksi, dan objek wisata.

.

Perlu diperhatikan bahwa salah satu kekonyolan dalam praktik pelestarian adalah mendudukkan pelestarian pusaka budaya (heritage) lebih sebagai sarana pembentukan objek wisata alih-alih sebagai perupaan bukti sejarah. Ketika suatu heritage yang dilestarikan dan kemudian menjadi objek wisata itu didudukkan sebagai tujuan maka makna pelestarian pun terpotong sampai situ saja. Akibatnya, dalam kedudukannya sebagai sebuah sumberdaya ekonomi, heritage pun mau tidak mau harus berpacu dan berhadapan-hadapan langsung dengan sumberdaya ekonomi lain; yang umumnya berselubung modernitas dan modal besar. Jika heritage tersebut tak mampu menjadi mesin uang, mengapa harus dipertahankan? Atau, dengan dalih revitalisasi heritage alih-alih sebagai upaya “intesifikasi mesin produksi”, heritage pun diubah, dikemas ulang, dibentuk ulang sebagai komoditas. Orang masih bisa melihat bentuk heritage itu. Namun, apakah nilai dan pengetahuan esensinya akan mampu tersampaikan? Begitulah muaranya.

.

Konsep pelestarian yang diusung para pihak, baik lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, pun menjadi tidak jelas arahnya. Masing-masing pihak merasa punya ukuran sendiri yang harus diterapkan. Namun, nyatanya, dalam pelaksanaannya di lapangan pun tak jauh berbeda hasilnya pada beberapa kasus. Masjid Agung Kauman dan Masjid Gede Mataram Kotagede pascaproyek pemugaran oleh pemerintah daerah menjelma menjadi masjid dengan bahan-bahan baru tanpa ketahuan kemana material aslinya saat ini berada atau tersimpan. Kompleks Makam Mataram di Kotagede pun setali tiga uang pascaproyek pemugaran oleh pemerintah daerah yang dilakukan tanpa prosedur arkeologis yang terukur. Bahkan, pernak-pernik lampu hias kota pun nongol di kompleks makam dan pemandian yang disakralkan itu. Tak jauh nasibnya situs Tamansari, yang pemugarannya dikoordinasikan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian pusaka budaya, menurut sebagian masyarakat saat ini menjelma bagaikan kompleks bangunan baru yang kehilangan kualitas kesejarahannya.

.

Foto situasi kawasan Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta Situasi kawasan Taman Sari, Yogyakarta

.

Ketidakpastian di bidang hukum pun menjadi pekerjaan rumah besar Pemerintah Provinsi DIY jika memang ingin berkomitmen untuk melestarikan pusaka budaya Yogyakarta. Perda No. 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya yang ada sekarang hanya menjadi harimau tanpa gigi. Begitu tinggi dalam menuliskan prinsip-prinsip pelestarian, tapi di dalamnya tak mencantumkan pasal-pasal mengenai sanksi bagi pelanggaran pelestarian. Juga tak ada penjelasan yang lebih jelas mengenai hak dan kewajiban Keraton Yogyakarta dan Pura Paku Alaman sebagai pemilik aset-aset budaya yang tak ternilai harganya. Bahkan, kedua kompleks istana itu pun belum berstatus cagar budaya, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional!

.

Apakah sebenarnya yang terjadi? Apakah kedua kompleks istana itu tidak diajukan sebagai situs cagar budaya sejak lama, sehingga hingga sekarang pun tak punya status hukum tersebut? Apakah sudah diajukan, tetapi tidak lulus uji kelayakan sebagai cagar budaya? Jelas tidak mungkin, bukan? Ataukah… sedang menunggu beberapa proyek bernilai investasi besar terselesaikan lebih dulu, setelah itu baru status cagar budaya itu tersematkan? Parkir bawah tanah Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, kah… ?

.

Suka tidak suka, pesimisme itu telah muncul di masyarakat Yogyakarta yang sejatinya sangat mendambakan kelestarian pusaka budaya dan alam Yogyakarta itu sendiri. Namun, ketika melihat begitu nyatanya ketidakpastian proses dan komitmen, serta ketidakadilan penerapan hukum menjadikan cita-cita dan harapan itu pun pupus. Banyak orang bilang Yogyakarta saat ini sedang berada pada transisi, ragu-ragu, memilih antara tetap melangsungkan kehidupannya berbasis budaya lokal yang bersahaja dan toleran, ataukah berubah haluan menjadi bagian dari peradaban berbasis modernisme dan kapitalisme global. Pada akhirnya memang akan sulit untuk menuntut terjadinya situasi yang ideal. Terlebih lagi ketika sudah begitu banyak kasus pemusnahan yang terlanjur terjadi. Hal yang bisa dilakukan saat ini tinggallah berupaya membuat grand design pembangunan daerah yang sebenarnya, sehingga yang belum terlanjur termusnahkan masih bisa terlestarikan.

.

Satu hal yang bisa dijadikan solusi pemastian komitmen proses pelestarian bisa dilangsungkan sesuai cita-cita yang diharapkan adalah dengan meneguhkan aturan main yang ada, yakni Perda No. 11 Tahun 2005 di atas dengan membuat turunan peraturan pelaksanaannya dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Pemintakatan sejumlah kawasan cagar budaya di Yogyakarta yang telah lama direncanakan bisa segara diatur dalam Pergub. Perincian mengenai hak dan kewajiban serta sanksi atas pelanggaran pun harus tercantumkan dalam perda tersebut. Lebih jauh adalah keadilan dalam penegakan supremasi hukum, sehingga peraturan yang ada benar-benar bisa berlaku positif bagi seluruh warga negara yang bergiat di DIY tanpa ada perkecualian dan pengistimewaan.

.

Kebudayaan itu memang dinamis, akan selalu berubah dan berkembang seiring jalannya masa. Tetaplah dalam kuasa kita untuk menentukan apakah kebudayaan itu akan berjalan banal dan binal, ataukah akan melenggang dengan ramah dan anggun. Perubahan yang bijak akan bisa terwujud ketika kita sudah mampu belajar dari yang sudah ada dan terjadi, yakni sejarah dan budaya itu sendiri, dan di sanalah letak pelestarian; pewaris dan penjaga pengetahuan. Setelah itu, barulah kita menginjak tahap memroduksi kebudayaan baru. Namun, tampaknya, kita masih jauh dari mampu untuk menuju ke sana.

.

Sisi depan Ambarukmo Plaza Pendapa Pesanggrahan Ambarukkmo

.

(1) Penetapan status cagar budaya Pesanggrahan Ambarrukmo tertuang dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia No. PM. 25//PW.007/MKP/2007. Di dalam peraturan tersebut juga ditetapkan status cagar budaya kepada 27 situs lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daftar dan letak bangunan cagar budaya di D.I. Yogyakarta dapat dilihat di peta ini.

.

Elanto Wijoyono

di Yogyakarta

.

Bacaan lebih lanjut

.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya.

___________, tt. Raja Jawa di Panggung Politik. Adil News Online Kolom Nasional Edisi 26. http://www.adilnews.com/?q=en/raja-jawa-di-panggung-politik

___________, 2004. Sepotong Jogja. Forum Komunitas Weblog Jogjakarta Angkringan.or.id 16 Desember 2004 – 25 September 2007. http://angkringan.or.id/page.php?id=66

Agung PW. 2004. Keraton Yogyakarta Bangun Supermal. Suara Merdeka Edisi Kamis, 4 Maret 2004 Rubrik Jawa Tengah – Kedu & DIY. http://www.suaramerdeka.com/harian/0403/04/dar25.htm

Amin, Syaiful. 2004. Pembongkaran Peninggalan Sejarah HB VII Gagal. Tempo Interaktif Edisi Rabu, 27 Oktober 2004 pukul 20.10 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/10/27/brk,20041027-61,id.html

Badil, Rudi dan Nurhadi Rangkuti, ed.. 1989. Rahasia di Kaki Borobudur; The Hidden Foot of Borobudur. Jakarta: Katalis.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, et.al.. 2005. Studi Arkeologis Pesanggrahan Ambarukkma. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, et. al.. 2005. Studi Teknis Pesanggrahan Ambarrukma. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Bentara Budaya Jakarta – Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia – Generasi Muda Buddhis Indonesia. 1987. Karmawibhangga Candi Borobudur; Gambaran Masyarakat Jawa Abad ke-9. Katalog Pameran Karmawibhangga Borobudur di Bentara Budaya Jakarta, 6 – 13 Juli 1987. Jakarta: Bentara Budaya Jakarta – Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia

Dyna/Lensa. 2008. Peluang Pasar Mall di Yogyakarta Sangat Sempit. www.uny.ac.id Edisi 15 Januari 2008. http://www.uny.ac.id/home/data.php?m=951da6b7179a4f697cc89d36acf74e52&i=1&k=5425

Firmiyanti, Riska Dwi, ed.. 2006. Kapitalisme Versus Kebudayaan. Suara Negeriku Internews in Indonesia Edisi No. 4 Track 3. http://www.internews.or.id/v4/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=28

Hasan Alwi, et. al.. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Hasan, Mulyani. 2007. Onani Spiritual dalam Bencana. Weblog www.mulyanihasan.wordpress.com Jurnal 26 April, 2007. http://mulyanihasan.wordpress.com/2007/04/26/onani-spiritual-dalam-bencana/

Martokusumo, Widjaja. 2004. Desain Urban dan Konservasi. Oud Batavia Minggu, 3 Oktober 2004 disadur dari Kompas. http://oudbatavia.blogspot.com/2004/10/desain-urban-dan-konservasi.html

Pendit, Nyoman S.. 2001. Bung Karno dan Pariwisata. Harian Umum Sore Sinar Harapan Edisi No. 3902 Sabtu, 1 September 2001. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/01/opi01.html

Rafick, Ishak dan Gigin W. Utomo. 2005. Ledakan Mal di Solo dan Yogya. Website SWA Majalah Edisi Kamis, 12 Mei 2005. http://202.59.162.82/swamajalah/tren/details.php?cid=1&id=2679

Rit. t.t.. Sultan HB X Luncurkan Pembangunan Plaza Ambarukmo. Portal Berita http://www.kapanlagi.com. http://www.kapanlagi.com/newp/h/0000024953.html

Saksono, Herman. 2006. Plaza Ambarukmo. Weblog hermansaksono.blogspot.com Jurnal 6 Maret, 2006. http://hermansaksono.blogspot.com/2006/03/plaza-ambarrukmo.html

Saptono, Hariadi. 2007. Wong Mataram dan Problem “Rosa-Rosa”. Harian Kompas Edisi Sabtu, 7 Oktober 2007 Rubrik Fokus. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0710/06/Fokus/3894506.htm

Setyastuti, Ari. 2007. Pencagarbudayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah dalam Sarasehan Sosialisasi BCB di DIY. 11 September 2007 di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.

Sgt-55j. 2005. Pembangunan Ambarukmo Plaza; Tidak Korbankan Peninggalan HB VIII. Harian Suara Merdeka Edisi Senin, 13 Juni 2005 Rubrik Kedu & DIY. http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/13/x_ked.html

Sidharta dan Eko Budihardjo. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Susanto, Mikke dan Nunuk Ambarwati, ed.. 2007. The Thousand Mysteries of Borobudur. Katalog Pameran Seni Visual The Thousand Mysteries of Borobudur. 20 April – 9 Mei 2007 di Jogja Gallery. Yogyakarta: Jogja Gallery.

Utomo, Gigin W. dan HED. 2005. Raja Properti (Baru) dari Yogya. Website SWA Majalah Edisi Kamis, 7 Juli 2005. http://202.59.162.82/swamajalah/artikellain/details.php?cid=1&id=2944

Website PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, & Ratu Boko. Rubrik Operational. BUMN Online. http://members.bumn.go.id/borobudur/operational.html

Widodo, Sambung. 2003. Prospek Pelestarian dan Pengembangan Bangunan Pesanggrahan. Berkala Arkeologi Tahun XXIII No. 2 / November 2003. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Halaman: 101 – 113.

Wijoyono, Elanto. 2007. Mungkin Kata-Kata ini Bisa Ditulis di Poster dan Spanduk Aksi Kita. Jurnal www.taksidoberkucing.multiply.com tanggal 26 Maret 2007. http://taksidoberkucing.multiply.com/journal/item/16/Mungkin_kata-kata_ini_bisa_ditulis_di_poster_dan_spanduk_aksi_kita…..

Yuk. 2004. Keraton Yogya Gandeng Pengusaha Bangun “Hypermall”. Harian Umum Sore Sinar Harapan Edisi No. 4640 Senin, 1 Maret 2004. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0403/01/nus04.html

12 thoughts on “Hitungan Ukuran ala Ambarrukmo

  1. lho mas…saya sangat tertarik…terus kalo saya dari arah klaten mau ke ambarukmo lewatnya mana?apa bisa di kirimi peta jogja begitu ke email saya?soalnya saya pernah nyasar di jogja.iya begitu.trim sebelumnya tapi petanya yang bisa di print ya.trims sebelumnya lho

  2. waw,blog yg menarik..
    tapi kok saya merasa mas wijoyo ini [pada sub judul-Ketidakpastian itu mendulang pesimisme pelestarian]tidak suka pemugaran situs ya? lebih suka sesuatu terlihat sebagaimana aslinya..maaf kalo salah tangkap. kalo menurut saya pemugaran dengan penggantian material, itu baik2 saja. pecinta motor butut misalnya,mereka gak bener2 mempertahankan kebututan motornya kan? dengan pengekroman ulang, ganti mesin biar lebih ramah lingkungan, pengecatan ulang, dan sedikit perubahan masa kini, bikin motor mereka lebih baik kan? kayanya situs peninggalan juga lebih bagus kalo sedikit mengalami sentuhan kekinian, kalo saya sih menganggap itu[kegiatan pemugaran] lebih kpada smacam sumbangan kaum peduli heritage yg skrg thd peninggalan masa lalu.cuma pndapat si.. 🙂

  3. Lyla yb
    terima kasih atas tanggapan kritis Anda 🙂

    Itulah bedanya pemugaran dengan perlakuan pada bangunan cagar budaya dengan bangunan biasa. Mungkin keduanya sama-sama tua, tetapi bangunan cagar budaya memiliki nilai lebih yang tidak sekedar tua, yaitu nilai pentingnya utk ilmu dan budaya, juga masyarakat yg berkepentingan dgnnya.

    Dalam proses pemugaran, secara umum pun memang masih terjadi beda pendapat. Kalangan arkeolog cenderung berupaya melakukan pemugaran yg mengarah ke preservasi (pengawetan, mengarah pada bentukan asli). Sementara, kalangan arsitek cenderung berupaya melakukan pemugaran yang mengarah pada kesatuan ruang (space), sehingga lebih permisif pada penambahan bentukan-bentukan baru agar mampu menyeimbangkan ruang terpugar. Namun, walaupun keduanya memiliki kecenderungan yg berbeda, keduanya tetap berada dalam kerangka konservasi cagar budaya yang, sekalilagi, akan berbeda perlakukannya dengan perlakukan terhadap bangunan / situs yang bukan cagar budaya.

    Pada kasus di artikel saya di atas, yang saya maksud dengan “pesimisme” ini bukan berarti tidak suka pemugaran situs. Masalahnya adalah, proses pemugaran yg terjadi di sini adalah proses pemugaran yang tidak memenuhi prinsip-prinsip dasar pemugaran; baik secara ilmiah maupun secara etika. Terlebih lagi, pelanggaran prinsip dan etika itu dilakukan oleh pihak yang berwenang menangani pemugaran dan atau pelestarian cagar budaya.

    Pemugaran benda cagar budaya di manapun akan dilakukan dengan sangat hati-hati karena itu merupakan sumberdaya bernilai yang tak bisa diperbarui lagi, dan rentan. Memang untuk tujuan konsolidasi (penguatan bangunan) kadang akan diperlukan penambahan unsur-unsur bangunan agar bangunan itu bisa lebih panjang umurnya (lebih awet, lebih kuat, lebih tahan terhadap faktor alam dan manusia). Namun, catatannya, penambahan itu harus dengan alasan-alasan yang sangat diperhitungkan dan dengan prosedur penerapan yang tidak asal garap atau asal pasang. Pun, sentuhan kekinian dalam proses pemugaran tentu saja tidak akan ditujukan untuk mewujudkan bangunan cagar budaya itu menjadi “kinclong” (tampak anyar sama sekali) seperti bangunan baru. Para pelestari sejati di manapun akan menolak mentah-mentah sikap spt itu.

    Hal yg saya kritik pada kasus di artikel saya, adalah ketika celah kompromis di atas disikapi secara lain dan menyimpang oleh pihak yang mendapatkan tugas konservasi, bisa itu kontraktor, konsultan, pemilik, hingga pemerintah. terlebih lagi ketika pelanggaran prinsip-prinsip itu dilatarbelakangi oleh kepentingan lain yang juga tidak sehat dan ramah sosial; itu bisa dalam bentuk implementasi proyek pemugaran yang tak memenuhi syarat minimal hingga pemugaran yang dibenturkan dengan kepentingan ritel pemodal besar macam Carefour. Akibatnya, pemugaran yg terjadi bukan menjadi pekerjaan utama.

    Jadi, apa sih sebenarnya tujuan pemugaran yang harus dilakukan dengan sangat detail dan ketat seperti itu? Tak lain untuk kepentingan pembelajaran bagi masyarakat bahwa benda cagar budaya adalah salah satu sumberdaya bernilai yang punya banyak hal di dalamnya yg bisa dipelajari. Ketika unsur-unsur dalam sumberdaya budaya itu kemudian hilang atau rusak atau tergantikan dengan unsur baru tanpa catatan jelas … tentu saja itu adalah sebuah kehilangan besar dalam ranah pengetahuan. Mestinya kita semua bisa lebih menghargai hal-hal semacam itu daripada sekedar tampilan dan citra.

    Salam,

    elanto wijoyono

  4. kalo menurut saya ya mas… tentu awalnya kanjeng Sultan sdh memikirkan baik2 tentang rencana pembangunan itu. Kalaupun ternyata tdk bisa tepat seperti yg direncanakan ya mungkin perlu dilihat lagi apa ketidak tepatan itu masih bisa dimasukkan dalam ‘batas toleransi’. Saya yang diajari oleh eyang eyang saya yg juga orang jogja tentang toleransi itu. Mungkin saja kita sebagai masyarakat memang sudah terbiasa ‘protes’… nuwun sewu… kalau ada yg tidak disukai sedikit saja langsung ‘duarrr’…
    saya pribadi mungkin akan lebih bersikap kita serahkan saja kembali kepada kebijakan pihak kraton dan kasultanan tentang konsekuensi dari kebijakan Sinuwun…
    kalau dari pengembang atau pengelola sih… praktisnya mereka pasti berpikir bisnis… masalah hukum juga pasti mereka terlebih dahulu melihat apa yg harus ditaati atau apa yg bisa ‘sedikit dilanggar’ karena mungkin ada item yg kurang jelas dalam kontrak atau perjanjian pembangunan itu…
    Demikian mas urun rembug saya… mungkin saya kurang mengenal daerah asal nenek moyang saya ini… tapi saya juga tidak lupa daratan dengan mengatakan saya bukan wong yogja… matur nuwun…

  5. Bicara budaya juga akan bicara tentang perubahan. Namun, perubahan itu tak harus yang berwajah binal.
    Kraton beserta segala asetnya sebagai sebuah entitas budaya, baik yang teraga maupun yang tak teraga adalah pusaka (heritage) yang harus dijaga, krn ada banyak pengetahuan bernilai di dalamnya.
    Bicara pelestarian akan sangat dekat dengan masalah komitmen dan konsistensi. Sayang sekali jika komitmen pelestarian yang terlanjur disiarkan oleh para petinggi budaya Kraton Yogyakarta itu harus runtuh hanya oleh “kesalahan” hitung yang susah dibilang tidak sengaja itu.
    “Kesalahan” hitung itu meliputi:
    1. Pembangunan ekonomi kerakyatan adalah salah satu visi Sultan HB X yang disampaikan di awal beliau bertahta. Jika pembangunan mal dianggap sebagai strategi pembangunan ekonomi kerakyatan maka itu adalah salah hitung yang pertama.
    2. Pernyataan kerabat kraton, termasuk HB X sendiri, di awal tahun 2005 (termasuk pada saat peresmian purnapugar Tamansari) bahwa pembangunan mal Ambarukmo tidak akan merusak peninggalan HB VII. Namun, nyatanya pembangunan itu harus membongkar gandhog tengen dalem tsb yang sebagian bangunannya hanya digunakan sebagai jalan keluar dari/menuju parkir. Dengan luas lahan yang ada, seharusnya pengembang bisa menghitung berapa luas bangunan yang semestinya, sehingga tidak harus menggusur bangunan sebelahnya. Sayangnya arsiteknya tidak bisa tahu karena mereka menggambar perencanaa bangunan itu tanpa melihat langsung kondisi di lapangan. IMB juga muncul setelah bangunan berdiri. Izin dari BP3 Yogyakarta juga muncul atas nama kepalanya tanpa kesepakatan tim ahli instansi tsb. Kesalahan hitung yang kedua terjadi.
    3. Kesalahan “hitung” yang ketiga adalah kesalahan untuk memaknai toleransi. Ketika menyaksikan pelanggaran komitmen pelestarian yang dilakukan oleh empunya sendiril; sikap diam dan nrima dianggap sebagai sikap toleran. Ketika menyaksikan pebisnis mencoba mengelabui aturan2 hukum; sikap diam dan nrima dianggap sebagai sikap toleran. Ketika menyaksikan aturan hukum bisa dipermainkan oleh aparatnya sendiri; sikap diam dan nrima dianggap sebagai sikap toleran. Jadi, siapa yang lupa daratan?

    Saya dan rekan-rekan pemerhati dan pelestari pusaka (heritage) tentu bangga dengan segala kekayaan alam dan budaya kita. Kami juga sangat hormat kepada para pemilik dan pengelola pusaka alam dan budaya itu. Memang tidak mudah mengelola itu semua karena perlu banyak pikiran, tenaga, dan dana. Oleh karena itu, sejak awal tahun 1990, kita sudah bersama-sama memperjuangkannya di ranah hukum agar pemilik dan pengelola cagar budaya dan cagar alam bisa mendapatkan apresiasi dan keringanan pajak. Namun, ketika perjuangan itu kemudian justru dimentahkan sendiri oleh pihak yang sedang diperjuangkan, yang ironisnya dia juga sebagai pihak penentu kebijakan, baik “kebijakan budaya” (dalam kapasitasnya sebagai pewaris tahta) maupun kebijakan hukum (dalam kapasitasnya sebagai aparat pemerintahan daerah); yang terjadi adalah sebuah ironi. Jadi, ketika dua entitas itu sendiri sudah tidak peduli dan “toleran” terhadap segala pelanggaran yang terjadi di depan mata maka tidak ada cara lain bagi kami selain menyuarakan keberatan dan melakukan advokasi. Walaupun kami bukan pemilik dan pengelola cagar budaya tsb, tapi kami punya kepedulian terhadap pelestarian, yang diawali dari pelestarian fisiknya agar nilai-nilai pengetahuan di dalamnya bisa tetap terjaga dalam wujudnya yang asli, bukan imitasi. Walaupun untuk kasus ini kami kalah, tetapi kami sudah memapu menyatakan sikap kami.

    Semoga kita semua bisa dan mau belajar…

    Salam,

    Elanto Wijoyono

  6. nama sy arief isrefidianto,mhswa arsitektur ugm tingkat akhir. saat ini sedang TA,dg studi kasus re disain hotel ambarrukmo.sy mau menanyakan apakah kita bisa share mengenai data2 eksisting hotel ambarrukmo dan pesanggrahannya?tks

  7. Data-data tentang Hotel Ambarukmo bisa diperoleh dari pihak PT Ambarukmo Karaton Ngayogyakarta. Mereka berkantor di gedung Hotel Ambarukmo lantai 1, buka setiap hari dan jam kerja.
    Ada juga skripsi ttg Pesanggrahan Ambarukmo tulisan temen saya di Jurusan Arkeologi FIB UGM. Sila datang ke perpus Jurusan Arkeologi UGM pada hari dan jam kerja. Dari dua sumber/kontak ini nanti bisa menelusuri sumber-sumber lain yang lebih luas.

    Salam,

  8. @ Anna

    Pesanggrahan Ambarukmo dan aset-aset Kraton Yogyakarta itu adalah hak milik Kraton Yogyakarta sebagai sebuah lembaga; walaupun memang keputusan tertinggi banyak berada di tangan Sultan. Dari sisi hukum, de yure, itu mmg hak mereka untuk mengelolanya.

    Kami melihatnya dari sisi kepentingan pengetahuan dan pelestarian kebudayaan. Banyak teman yang tidak punya kesempatan untuk memiliki kekayaan budaya dan alam. Sementara, di sisi lain, banyak pihak yang punya akses pada kekayaan budaya dan alam, tapi tidak bisa mengelolanya dengan baik.

    Berdasarkan UU Benda Cagar Budaya dan berbagai catatan deklarasi pelestarian pusaka, saat ini telah berkembang pemahaman bahwa dalam suatu benda/lingkungan cagar budaya dan alam.. ada hak-hak individu lain untuk bisa mengakses berbagai pengetahuan yang tersimpan di dalamnya.

    Sangat sayang jika si empunya justru merusak benda/hal yang harusnya dia jaga dan lestarikan.

    Salam,

  9. Dewasa ini banyak anak muda yang sudah keblinger.Kebablasan.dan ngawur.Rusaknya karakter bangsa salahsatunya sikap permisif yang ga pada tempatnya.Tadi ngaku kakeknya orang asli Jogja tapi di ujung bilang maaf kalo sayang kurang faham tentang Jogja. Tanah bagi sebagian orang jawa di anggap PUSAKA.Lha kalo pemanfaatannya dengan sifat permisif seperti yang kakeknya asli jogja itu jelas Jogja penuh Mall atau bisa jadi ada ratusan pencakar langit terbangun dong.Maaf mas emosi.

  10. Saya tidak setuju pembangunan ambarrukmo plaza sangat merusak citra yogyakarta yg katanya penomer satu kota pelindung cagar budaya sopan santun anggah ungguhnya sangat duwur tapi demi uang penutup biaya kehidupan keraton mengorbankan harga diri budaya yogyakarta hingga merisaukan rakyat yogya sendiri yg terus tersingkirkan kedudukannya oleh pendatang penawar kekayaan sesaat yg suatu saat kelak yogyakarta bagai kota kehilangan aura kota budaya berganti yogyakarta kota semu budaya yg terdongengkan sebagai kota budaya…kemalangan kota budaya yogyakarta semakin yata karna kekuasaan untuk harta

Leave a comment