Aparatlah yang Harus Dididik!

Langkah Taktis Mengatasi Carut-Marut Pengelolaan Pusaka 1)

What about Cultural Heritage?

Senisono mungkin bisa menjadi penanda. Pemugaran dan pengambilalihan gedung yang pada masa Belanda merupakan Societeit de Vereeniging oleh Sekretariat Negara pada awal tahun 1990an itu menjadi pemicu awal pergerakan pelestarian pusaka (heritage) oleh kalangan terpelajar formal Yogyakarta. Aksi keprihatinan atas proses teknis yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya atas gedung yang setelah masa pendudukan Jepang berganti nama menjadi Balai Mataram, dan sempat digunakan sebagai tempat pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia pertama pada November 1945, itu antara lain yang kemudian melahirkan Yogyakarta Heritage Society. Mungkin, selain oleh karena praktik itu adalah “pesanan” pusat, tak ada banyak hal yang bisa dilakukan saat itu dengan belum adanya peraturan khusus untuk perlindungan benda cagar budaya, selain Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238 ) tinggalan pemerintahan Hindia Belanda. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Yogyakarta mengaku sudah memberikan masukan teknis terhadap renovasi yang berlangsung, tetapi dimentahkan dalam penerapannya.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pun tidak cukup mampu “menggigit” ketika terjadi perusakan situs Ratu Boko pada pertengahan dekade itu juga. Atas dasar kepentingan pemasangan sambungan kabel telekomunikasi, jalan yang diduga kuat merupakan jalan asli menuju kompleks yang hampir berusia seribu tahun itupun dibongkar. Pihak SPSP Yogyakarta pun sebenarnya hadir dalam pelaksanaan proyek. Namun, pihak pengelola proyek tetap tidak bersedia mengembalikannya ke kondisi semula karena alasan teknis pemasangan sambungan kabel telekomunikasi yang tidak dapat diubah lagi (Prihantoro, 1998). Continue reading “Aparatlah yang Harus Dididik!”

Hitungan Ukuran ala Ambarrukmo

Mendulang Pesimisme Pelestarian Pusaka

.

Bangunan seluas 15.129 meter persegi itu jelas tak mampu menutupi bangunan seluas 20.000 meter persegi. Tinggi bangunan berusia sekitar 1200 tahun yang hanya 34,5 meter saat ini pun jelas tak mampu menandingi bangunan enam lantai yang baru akan berusia dua tahun pada tanggal 5 Maret 2008 mendatang. Tak hanya itu, orang yang berkunjung ke bangunan tua itu jauh di bawah kunjungan orang ke bangunan baru nan megah satunya, 5460 rata-rata per hari (data tahun 2005) dibandingkan dengan 25.000 – 30.000 rata-rata kunjungan per hari.

.

Borobudur dan Ambarukkmo 1 Borobudur dan Ambarukmo 2

Borobudur Sang Mahakarya pun tertunduk lesu di hadapan Ambarrukmo Plaza (Amplaz) yang begitu congkak terbahak mengalaskan salah satu kakinya di tengkuk gandok tengen pesanggrahan kraton peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

.

Interpretasi bernada sinis itu spontan muncul begitu menyaksikan salah satu karya seniman Belanda Krijn Christiaansen yang dipamerkan di Rumah Seni Cemeti – Yogyakarta akhir Januari ini. Lalu, mata tertuju pada seri foto yang tertempel di sudut denah, tampak Krijn yang bule itu sedang menyapu lantai atrium Amplaz dengan sapu lidi, lengkap dengan gestur badan membungkuk dan tangan dilipat ke belakang, serupa gestur kebanyakan perempuan Jawa ketika menyapu halaman rumah. Ketika ditanya, “Kenapa menyapu?” . “It was a garden, right?” , balasnya. Aha…

.

Sebuah denah rekonstruksi Pesanggrahan Ambarrukmo pada masa awal memang menunjukkan bahwa lahan di sisi barat tempat Amplaz berdiri saat ini adalah kebon raja; kebuh buah dan kandang kuda. Usai masa revolusi kemerdekaan, ketika bangunan pesanggrahan dipakai sebagai kantor dinas dan pemerintahan secara bergantian, sebagian besar lahan kebun di area pesanggrahan itu tidak terawat secara khusus. Dari beberapa warga senior yang tinggal di sekitar Amplaz pun diceritakan bahwa lahan itu sempat dijadikan tempat pembuangan tanah dari lahan di sisi timur pesangggrahan didirikan Hotel Ambarrukmo pada awal dekade 60-an. Diceritakan pula bahwa di sana pun pernah ada beberapa kolam kecil yang sering diziarahi orang, tersembunyi di antara rerimbunan pohon. Terakhir, pada sisi selatan lahan itu dulu berdiri kompleks SD Negeri Ambarrukmo dan lapangan tenis, sisanya menjadi kebun anggrek. Namun, semuanya terpaksa digusur dari Sultan Ground ketika Amplaz didirikan berikut separuh sisi bangunan gandok tengen. Sementara, kebon raja, gandok kiwa, dan pecaosan sudah terlebih dahulu tergusur ketika Hotel Ambarrukmo didirikan.

.

Denah Rekonstruksi Pesanggrahan Ambarukmo

Continue reading “Hitungan Ukuran ala Ambarrukmo”